Di mana daerah yang tak memiliki makanan khas? Nggak ada, kan? Bisa jadi ada kemiripan, atau beberapa wilayah yang berdekatan memiliki penganan khas yang sama. Tapi rasanya sih ngga ada yang sama sekali tidak punya makanan khas. Kapan-kapan kutuliskan makanan khas kampung halamanku. Buat sekarang, oleh-oleh cerita kuliner dari Wonosobo bulan lalu.
Baca juga: Permakultur dan Kunjungan ke Kebun Igirmranak
Satu hal yang tak kuduga dari kota ini adalah: ternyata ramai! Jauh lebih ramai dari kota kecilku. Saat tiba di kota ini--dari perjalanan menggunakan bus mini yang sepanjang jalan bunyinya aduhai, pertanda usia telah lanjut dan minim perawatan--Wonosobo sedang basah. Hujan tak cukup deras, tapi lumayan bagi pejalan kaki atau pengendara roda dua. Kawan perjalanan, Ajeng, menggamitku untuk memperkenalkan makanan khas Wonosobo.
Mi Ongklok
Ini menu yang pertama kali kucicipi. Sukaaa! Tadinya agak bertanya-tanya melihat gundukan mi yang terlihat liat. Tapi begitu mulai dikunyah, yummyyyyyy. Enak. Ada beberapa nama kedai yang cukup populer. Tak usah disebut deh, ya. Kuduga rasanya tak akan jauh berbeda. Kalau kamu ada di area kota, cukup hitung kancing, atau yang terasa sreg. Siapa tahu kamu yang jadi penglaris, karena kedai mereka tak masuk dalam deretan nama rekomendasi.
Yup, mi ongklok terbuat dari mi kuning. Bulat, bukan gepeng seperti mi-nya mi kocok. Mi disajikan bersama kuah kental yang berbahan tepung kanji. Kuah berwarna kecoklatan, ada campuran gula jawa di dalamnya, dan aroma gurih yang keluar dari ebi dan kuah kaldu ayam. Di atasnya ditaburi irisan daun kucai.
Menurut Ajeng, di semua kedai sajiannya sama: mi ongklok, sate sapi/ayam, dan tempe kemul. Dua yang terakhir pilihan saja jika berminat. Mi ongklok ini konon muncul mulai tahun 1970-an. Di masa lalu, ada pilihan goreng atau sate saren/didih yang terbuat dari darah ayam atau sapi. Kini sudah tak ada yang memasarkan karena mengganggap olahan itu tidak halal.
Jelang sore berhujan dan menikmati mi ongklok yang hangat dalam nuansa manis-gurih-pedas sungguh sebuah kenikmatan. Terpikir untuk menyempatkan diri mampir ulang kedai sebelum pulang, ternyata tak keburu dan ada perubahan rencana. Semoga lain waktu masih berkesempatan menikmatinya.
Baca juga: Kamu Tim Mana, Perjalanan dengan atau tanpa Rencana?
Tempe Kemul
Tempe kemul sebetulnya tak cukup terasa khas, mengingat tempe tepung sudah biasa dibuat dan dikonsumsi di rumah tangga. Tapi barangkali campurannya yang membuatnya berbeda. ATaua proses penggorengannya.
Kemul, bahasa Jawa yang artinya selimut. Tempe yang diiris tipis lalu diselimuti tepung. Adonannya terdiri dari tepung terigu, tepung kanji, bumbu rempah, dan irisan kucai. Nah, ini barangkali yang cukup membuat berbeda. Kalau mendoan campurannya daun bawang, bukan kucai.
Begitu pula dengan proses penggorengan. Jika mendoan digorengnya tak cukup matang, tempe kemul ini justru dibikin kriuk. Tempe kemul bisa ditemukan di kedai makan, dari yang kecil hingga besar, termasuk di kedai mi ongklok.
Nasi Megono
Aku baru dengar nama menu ini setelah tiba dan menginap di rumah Rumi. Cerita soal Rumi dan aktivitasnya bisa dibaca di sini.
Pada pagi terjaga, kami sudah disuguhi nasi bungkus yang ternyata nasi megono. Selintas, tak terlihat istimewa. Seperti nasi dengan campuran irisan sayuran. Tapi setelah suapan pertama, eh, kok enak!
Sensasinya seperti makan dengan kawan nasinya urap. Ternyata betul. Proses pembuatannya, nasi karon dicampur dengan urap sayuran, lalu dikukus dembali hingga matang. Ini yang menjadinya bumbunya terasa meresap. Sayuran yang biasa digunakan adalah nangka muda, labu atau waluh, dan sayuran warna hijau yang aku lupa namanya. Lain waktu coba kutanyakan, karena justru si sayur ini yang buatku unik.
Si sayur hijau itu adalah sejenis kol yang tidak dibudidayakan alias tumbuh liar. Biasanya dia tumbuh di pinggiran ladang, baik ladang kol maupun sayuran lainnya. Kurasa di area Bandung Raya juga ada, di Lembang, misalnya. Cuma tak tahu persis apakah juga dijadikan masakan.
Nasi megono, menu sederhana yang menurutku wajib coba.
Baca juga: Setengah Hari Mengelanai Kota Mendoan Magelang
Carica
Tahu carica ini dari postingan kawan di FB. Di benakku, karena di luar bentuknya seperti pepaya, bagian dalamnya juga mirip. Ternyata sama sekali berbeda. Bagian dalamnya ternyata mirip markisa.
Carica hanya tumbuh di dataran tingginya Wonosobo. Bahkan, meski dibawa turun ke Wonosobo, ia tak akan tumbuh seperti carica yang tumbuh atau ditanam di tanah tinggi. Aku sendiri belum lihat langsung berbedanya seperti apa, penduduk lokal hanya menyebut "seperti pepaya". Nah, kurang jelas, apakah rasanya yang jadi mirip pepaya atau bahkan struktur dalam buahnya juga berubah.
Buah ini diolah menjadi manisan atau sirup. Konon, rasanya segar, manis, dan sedikit asam. Konon saja, karena aku tidak mencoba. Aku hanya makan buah segarnya saat bertandang ke Gunung Prau. Rasanya juga mirip markisa. Asam-manis-segar. Sayangnya carica tak dijual dalam bentuk buah segar. Jadi, kalau kalian mau mencoba carica, ya mesti langsung ke gunung. Kalau tidak, cukup oleh-oleh manisan atau sirupnya.
Gulai Enthog Bu Siti
Yang ini jelas dari awal, warung Bu Siti. Sudah menjadi langganan Ajeng sejak dia sering melintasi kawasan Wonosobo. Letaknya di Jalan Raya Kalijajar, Wonosobo. Tak heran kalau ia pun menjanjikanku untuk tak terlewatkan menikmati gulai ini. Gulai atau opor itu persisnya, ya ...
Kami singgah ke Warung Bu Siti saat meninggalkan Igirmranak untuk kembali ke area kota. Bisa dibilang ini semacam hidden gem, ya. Kalau mau keluyuran ke Kota Buaya, bisa coba tanya blogger Surabaya, hidden gem wisata kuliner Surabaya di mana aja.
Aku ngga tahu persis, dan memang tidak mencari tahu, Kalijajar ini ada di Wonosobo kawasan mana. Sudah nuansa daerah pinggir. Meski begitu, buat kalian yang ingin merasakan nikmatnya olahan enthog ini, siap-siap kehabisan. Karena itu yang terjadi pada kami.
Saat datang, stok olahan sedang habis. "Lagi dimasak dulu, ya. Ke sini sekitar sejam lagi," begitu kata mbak-mbak yang entah sebagai apa. Kami pun meninggalkan lokasi, mengambil titik kunjungan yang lain--yang pada lain waktu akan kuceritakan--dan kembali setelahnya.
Memang, demikian larisnya warung ini. Warung yang telah beroperasi sekitar 15 tahun ini tak mengubah bangunan usaha mereka. Tetap dibiarkan sederhana, meski dalam seharu mereka bisa masak lebih dari 30 enthog.
Saat kami datang keduakalinya, di area depan tampak kosong. Area depan ini berupa ruang panjang dengan dua meja panjang berjajar dengan kursi di salah satu sisinya. Sisi lain menempel ke tembok. Yup, memang sempit. Barangkali cukup untuk 10 orang, jika ditambah dengan meja kursi kecil di sudut lainnya.
Nah, tapi ternyata warung Bu Siti ini tambunya bukan dilayani seperti pada umumnya kedai makan. Tamu mengambil sendiri makanannya. Gulai enthog tersedia dalam panci besar, dijerang di atas perapian. Perlengkapan makan plus nasi dan lalapan ada sisi lain. Di area dapur ini tersedia dua amben yang lumayan besar. Satu amben mungkin muat 6-7 orang. Jadi, selain di area depan, pembeli bisa makan di area dapur. Seperti berkunjung ke rumah keluarga yang dapurnya masih tradisional. Seru, sih. Layak untuk dikunjungi.
Oke, demikian dulu cerita perjalanan, persisnya kulineran di Wonosobo. Masih ada beberapa yang belum terkunjungi, seperti lontong tetel. Semoga di lain kesempatan.
Baca juga: Berkunjung ke Kota Atlas Semarang
No comments