Pangku, Cermin Getir Kehidupan Perempuan di Pesisir Utara Jawa

Kapan hari kubaca ulasan singkat seorang kawan medsos tentang film Pangku yang baru ditontonnya. Betul-betul singkat. Padahal aku mengenalnya sebagai seorang akademisi yang gemar bercerita. Intinya, ia pulang nonton merasa tidak membawa apa-apa. Alias itu film terlalu biasa buat dia. Tentunya sah-sah saja, karena apresiasi seseorang sangat dipengaruhi pengalaman pribadinya. Bisa jadi ia tak banyak bersentuhan dengan dunia yang disodorkan Reza Rahadian lewat debutnya sebagai sutradara di film ini. Buatku sendiri, banyak hal cukup menancap di benak: kemiskinan, perjuangan perempuan, kondisi sosial-ekonomi masyarakat pesisir, hal-hal yang sangat akrab dalam perjalananku. 


Baca juga: Gundala, Sebuah Harapan Baru untuk Film Indonesia

Belakangan aku tak cukup mengikuti perkembangan film-film terbaru. Tapi aku sudah dengar soal Pangku ini dari kawan, yang pekan lalu nraktir nonton Rangga dan Cinta. Katanya, sebetulnya ia ingin mengajakku nonton Pangku, sayangnya belum tayang. Nah, awal pekan kemarin kok ya pas ada tawaran dari Dini, kawan di Radio Raka yang menjadi media partner penayangan film ini. Pas banget! Makasih, ya, Din dan Raka FM.


Sinopsis

Cerita diawali dengan gambaran perjalanan truk. Ada tiga orang dalam trus tersebut, sopir, kenek yang pulas tertidur di bagian tengah kendaraan, dan seorang perempuan. Si perempuan tampaknya menumpang pada penggal perjalanan yang tak diketahui si kenek. Saat terjaga si kenek menunjukkan keberatannya. Atau barangkali bukan kenek, ya. Mungkin malah yang nandem, karena si sopir mengikuti anjurannya, menurunkan si perempuan di titik truk mereka mogok. 

Perempuan yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Sartika (Claresta Taufan) itu pun berjalan terseok menyandang tas kain di pundaknya. Mukanya tampak lusuh oleh minyak dan keringat. Kakinya yang hanya beralas sandal jepit, apalagi.

Tak jauh dari persimpangan jalan raya, ia segera menjumpai deretan warung yang semarak oleh lampu dan musik hingar. Pada langkah kesekian akhirnya ia menemukan warung milik Maya (Christine Hakim). Rupanya di situlah takdir barunya berawal.

Maya memberikan tumpangan kepada Sartika, yang ia sadari akan kesulitan menemukan pekerjaan di tempat lain. Terlebih dengan kondisi kehamilan tuanya. Secara ekonomi, kehidupan Maya tak terlalu baik. Rumahnya semi permanen berdiri di pinggir pantai tempat berlabuh kapal nelayan. Rumah tanpa sekat dengan onggokan barang di sana-sini. Namun, Maya merawat Sartika dengan baik, memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Begitu pula suami Maya. Ketika akhirnya bayi dalam kandungan Maya lahir, mereka menyebut diri Kakek dan Nenek.

Suatu hari Sartika memutuskan untuk melanjutkan tradisi yang pernah ada di warung Bu Maya: kopi pangku. Awalnya ia dipenuhi kegundahan dalam menjalankan profesi yang buatnya masih ganjil itu. Barangkali karena menyadari tak punya banyak pilihan, Sartika cepat belajar. Dari yang awalnya takut-takut, akhirnya ia mulai bisa berinisiatif agar para tamu lebih banyak berbelanja.


Baca juga: Berkaca dari Kasus Tiara, Femisida dan Peran Perempuan untuk Pencegahannya


Hingga suatu kali datanglah Hadi, pengepul ikan yang bertandang untuk ngopi, sekadar mengusir kantuk dalam perjalanan. Laki-laki itu pun tertambat hatinya akan kecantikan Tika dan bersimpati pada rumitnya kisah hidupnya yang harus membesarnya anaknya, Bayu, sendirian. Perhatian Hadi bersambut. Lambat laun, dua orang yang awalnya hanya saling mencuri pandang itu bersepakat untuk menjalani hubungan yang serius. Hadi dengan sepenuh hati memberikan dukungannya kepada Tika dan Bayu. Menyediakan diri sebagai bapak saat Bayu membutuhkan persyaratakan administrasi di sekolah. Bukan sekadar itu, mereka meresmikan hubungan dalam pernikaha. Memang, tak ditunjukkan apakah itu pernikahan resmi baik secara negara ataupun agama, yang jelas mereka pindah ke rumah baru. 

Kehidupan mereka terus membaik, ditandai dengan bangunan rumah yang diperbarui, dan Hadi menyiapkan gerobak baru untuk Sartika memulai usaha mi ayamnya. 

Pepatah lama mengatakan, "sepandai-pandai tupai melompat, pada saatnya akan jatuh juga." Itulah yang terjadi pada si penolong, Hadi, yang tak lain adalah lelaki yang hanya memanfaatkan ketidakhadiran istrinya yang menjadi buruh migran. Cerita berikutnya bisa ditebak.

Setelah didatangi istri Hadi, Sartika bergegas mengajak Bayu pulang kembali ke rumah Nenek. Membawa serta gerobak mi ayam yang belum tuntas digarap Hadi.

Sartika pun kembali ke kehidupan sebelumnya. Kali ini bertambah tanggungan baru, anak dalam kandungannya. Menjalani kehidupan yang tak muluk-muluk. Mimpi masa depan yang dikubur dan menjalani keseharian seapaadanya yang dihadirkan di depan mata. 


Baca juga: Perempuan-Perempuan dalam Karya Pramoedya Ananta Toer


Pangku, Kisah Getir Perempuan Pesisir

Getir, itulah yang kurasakan sejak scene awal film ini. Semuanya terhubung dengan beberapa pengalamanku. 

Aku punya bibi yang suaminya sopir truk jurusan Surabaya-Jakarta. Lalu, suaminya itu menghilang begitu saja, tanpa kabar, meninggalkan bibi dan kedua anaknya. Gambaran itu langsung muncul di benakku saat adegan pertama. Begitu scene rumah-rumah petak, gambaran yang muncul adalah rumah bibiku yang lain. Dua orang tua dengan 3 anak tinggal di sebuah rumah petak yang kondisinya tak jauh beda dengan rumah Bu Maya. Hanya, mereka bukan di pesisir melainkan di wilayah kumuh pinggiran Surabaya. 

Kemiskinan itu cukup akrab dalam pengalamanku. Masih untung, dalam keterbatasan keluargaku, kami masih tinggal di desa. Meski tinggal di rumah bilik, di tanah milik orang, paling tidak kami masih bisa menikmati makanan sekadarnya dari tanah yang kami tinggali. Pun, bukan ada di wilayah yang orang dengan mudahnya menceburkan diri ke prostitusi hanya demi memperbaiki nasib. 

Tentang Indramayu dan segala kerumitannya sudah kuketahui sejak lama. Dari kawan-kawan media, aktivis perempuan, dan beberapa kali singgah di kota ini. Warung-warung remang juga mengingatkanku pada kunjunganku ke Pangandaran bersama kawan-kawan penggiat kampanye soal HIV/AIDS. Di lokalisasi Pamugraan, pesisir Pangandaran, aku sempat berkenalan ke seorang PSK asal Purbalingga. Ceritanya bisa baca di sini

Ya, nonton Pangku ini sejak awal sudah membuatku tertohok. Sesak. Adalah fakta bahwa tak semua orang memiliki kebebasan untuk memilih. Kalaupun ada, tak cukup pengetahuan dan pengalamann untuk melihat berbagai tersebut.

Selain temanya, film ini menarik buatku karena digarap dengan sangat baik. Kurasa Reza Rahardian sukses mendapuk dirinya sebagai sutradara. Patut diacungi jempol juga untuk pilihan temanya. Alih-alih memilih cerita yang cantik dan wangi, Reza malah menyajikan tontonan kampung kumuh, para pemeran yang dihujani debu dan peluh, dan kehidupan nyata yang senyata-nyatanya ada di sekitar kita. Bukan romansa yang mempertemukan pelacur dengan cinta sejatinya yang seorang milyuner. 

Semua berjalan sewajarnya, tanpa dijejali dengan pesan-pesan moral apa pun. Seolah memang Reza hanya memaparkan potret kehidupan masyarakat pesisir utara yang kali ini diwakili Indramayu. Warung kopi itu hanya oase, tempat sejenak singgah dari kepenatan hidup. Namun juga tak ada kesedihan di sana. Kerasnya kehidupan di Pantura telah lama menguras air mata mereka. Bahwa kenyataan pahit bukanlah barang baru di tengah keseharian masyarakat ini. Dan memang diakui oleh Reza, segala persoalan itu telah menjadi sesuatu yang biasa buat mereka.

"Waktu saya ngobrol sama mereka, gila, mereka nggak punya waktu buat mengeluh. Nggak ada momen di mana kayak, 'ya namanya kita orang susah, Mas,' itu nggaka da. Mereka di situ kerja, yang penting bisa makan. Kebetulan, suami nelayan, ulang sebulan sekali. Jadi, kalau bisa kerja, kenapa enggak?" Demikian cerita Reza Rahadian seperti dikutip Historia (7/11/2025)

Tentu saja film ini berhasil karena para pemeran menjalankan lakonnya dengan sangat baik. Semua. Semua aktor dan aktris menjalankan perannya dengan prima. Dari semua pemain, aku hanya tahu Christine Hakim, yang sudah tak perlu diragukan kualitasnya. Ekspresinya, cara dia merokok, BH-nya yang nglembreh ke-mana-mana, sangat alami. Pun dalam ekspresi diam dan tangis yang begitu hidup. Selebihnya aku tak tahu seperti apa mereka melakonkan peran mereka di film. 


Baca juga: Laki-Laki dan Andil Pentingnya dalam Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender


Fedi Nuril aku cuma tahu cuitannya di X yang sekali waktu melintas. Tapi di film ini, menurutku oke. Dia memerankan tokoh Hadi dengan alami. Tak berlebihan. Begitu pula Claresta Taufan yang menampilkan diri sebagai perempuan yang tak cukup berdaya menghadapi nasibnya harus menjadi ibu tunggal, tapi memilih tidak menyerah dan berjuang dengan caranya. Penampilannya yang bermetaforsa dari perempuan bertampang murung dan kusut menjadi sosok yang lebih berani juga berlangsung dengan halus, tanpa terlihat ada paksaan. Bahkan si bocah, Devano Danendra yang berperan sebagai Bayu juga menampilkan gaya yang ciamik. 

Yang agak luput dari pemantauanku adalah sosok si bapak. Setelah film usai aku baru tahu kalau si bapak diperankan oleh Jose Rizal Manua. Sebetulnya, pemeran yang lain aku juga tak tahu dari awal. Bedanya, aku cukup sering ketemu dengan penyair ini saat tinggal di Cikini. Kok aku nggak hafal? Mungkin karena tubuhnya terlihat lebih tambun. Senang juga melihat bapak ini masih terus berkarya di usianya. Beberapa kali dulu kulihat ia main catur sama Remi Sylado yang beberapa tahun lalu berpulang. Dan yang khas dari kehadiran Jose adalah kucing-kucing yang sliweran. Kurasa itu bukan tanpa sengaja. Reza pasti tahu kalau Jose Rizal adalah bapak kucing. 

Di Pangku, Jose Rizal Manua sama sekali tak bersuara. Tapi sikap, ekspresi, bahkan helaan napasnya mencerminkan sesuatu yang sarat dengan makna. Begitu pun hampir keseluruhan bagian film yang memang sangat hemat dialog ini telah berhasil menonjolkan makna meski tanpa kalimat verbal.

Meski bernuansa murung, film ini juga sempat memancing tawaku. Memang, lebih pada tawa miris. Misalnya adegan teman Hadi yang meminjam kamar untuk berhubungan dengan PSK. Beberapa scene mengingatkanku pada lagu Iwan Fals. Ada dua, Gali Gongli tentang bocah yang hidup di area pelacuran dan lagu berlirik begini:

     habis berbatang-batang tuan belum datang

     dalam hati resaha menjerit bimbang

     adakah esok hari anak-anakku dapat makan

     oh, Tuhan, beri setetes rezeki

Aku hafal betul lirik lagu yang judulnya aku baru tahu dari googling: Doa Pengobral Dosa.

Namun, dua lagu itu tidak muncul. Lagu yang kukenal belakangan dari suara Nadin Amizah, Rayuan Perempuan Gila, hadir dengan pas di film ini. Lalu di penghujung aku dikejutkan dengan suara Iwan Fals yang ternyata betul-betul ada. Pilihannya adalah "Ibu". Lagu ini seolah menjadi gong penutup bahwa film Pangku ini merupakan kisah perjuangan seorang perempuan, seorang ibu.

Buat yang belum nonton dan masih ada kesempatan buat mendatangi bioskop, tonton, deh.

Baca juga: Menjadi Perempuan Mandiri dan Merdeka

No comments