Showing posts with label blogger bandung. Show all posts

Menjadi Penulis, Hobi atau Pekerjaan?

Kata orang, "cintai apa yang kamu kerjakan, dan kerjakan yang kamu cintai". Ini terhubung dengan pernyataan lain, "jadikan hobimu sebagai perkerjaan, pasti mengerjakannya pun dengan senang hati". Sepakat nggak? Bagaimana menurutmu? Sebetulnya catatan ini tidak sedang membahas istilah. Sekadar sharing pengalaman kaitannya menjadi penulis, hobi, dan pekerjaan. Malahan bisa dibilang ini semacam catatan promosinya Ibu Meong, barangkali membutuhkan jasa terkait hal-hal yang menjadi garapan saiyah dalam berbelas tahun terakhir. Disclaimer-nya di muka, jadi kalau keberatan, skip saja 😁



Baca juga: Perjalanan Menuliskan Kisah Fragmen 9 Perempuan 


Sebelum membahas soal menjadi penulis, hobi, dan pekerjaan, aku berbagi cerita lebih dulu. Jadi, kapan hari aku berjumpa dengan seorang kawan yang memiliki usaha konveksi. Klien utamanya adalah sebuah butik busana muslim ternama, yang satu gamis sederhana saja harganya sekian juta rupiah itu. Tapi bukan mau bercerita soal usaha si kawan, melainkan tentang salah seorang karyawannya. Si kawan dibuat "pincang" karena salah satu penjahit andalannya mengundurkan diri. Usut punya usut, karyawan ini mengaku tertekan. Rupanya, ia tak menikmati pekerjaannya sebagai penjahit. Padahal, jahitannya terbaik di antara penjahit lainnya. Setelah melepaskan diri dari pekerjaannya, si mantan karyawan memumutuskan untuk untuk bertanam. Dan dia bahagia melakukan itu. 


Pekerja yang Bertanggung Jawab vs Pekerja yang Menikmati Pekerjaannya

Apakah salah menjadi pekerja yang bertanggung jawab? Tentu saja tidak. Sebuah pekerjaan membutuhkan komitmen dari pelakunya untuk diselesaikan hingga tuntas. Pekerja yang bertanggung jawab biasanya akan mengerjakan tugasnya secara optimal, bukan hanya selesai sesuai waktu yang ditentukan namun juga menuntaskannya dengan upaya memberikan hasil akhir yang maksimal. 

Jika berkaca dari cerita si kawan di atas, penjahit tersebut tak punya masalah dengan kinerja. Ia bekerja dengan sungguh-sungguh dan menyelesaikan tugasnya dengan hasil yang memuaskan. Persoalannya bukan dalam soal pekerjaan melainkan pada kepuasan batinnya. Dia tak menikmati pekerjaannya dengan segala prosesnya karena tak menyukai. Ia mahir tapi tak suka dengan apa yang dikerjakannya. Mungkin sebelumnya ia telah berusaha keras mengikuti anjuran "cintai apa yang kamu kerjakan", tapi tak berhasil. Begitu memutuskan keluar dari pekerjaan, dan memilih berkebun yang bisa jadi dari penghasilan jauh dibandingkan pekerjaannya sebagai penjahit, tapi ia menyukainya. Ia mengerjakan hal yang ia cintai, dan ia bahagia. 

Lalu, apa kaitannya dengan dunia penulisan? 

Dari kisah yang dibagikan kawan tadi, membuatku mengembalikan pertanyaan ke diri sendiri: apakah aku ini menulis karena menjadikan hobi sebagai pekerjaan, atau semata karena aku orang yang berkomitmen dengan pekerjaan?

Baca juga: Reviu Buku dan Tips Membuat Bookstagram


Pengalaman Menulis

Beberapa sumber yang menjelaskan definisi penulis, lebih kurang menyebutkan bahwa penulis adalah pelaku kreatif yang menciptakan suatu karya tulis. Karya itu dapat berupa tulisan fiksi maupun nonfiksi. Medianya pun beragam. Bisa tercetakkan dalam wujud buku fisik maupun digital, dipublikasikan di media cetak maupun online, dimuat di media mainstream maupun media-media alternatif, seperti webblog dan web atau majalah internal perusahaan. 

Karya-karya lain yang tertuang dalam bentuk tulisan adalah naskah skenario film maupun advertorial. Penulis skenario film biasanya penulis khusus, namun tak sedikit yang juga sekaligus penulis buku. Sedangkan untuk kebutuhan iklan dibutuhkan copy writer atau script writer. Dalam kebutuhan yang lebih luas, dikenal pula istilah content creator, yang tugasnya menyiapkan konten baik di website maupun media sosial. 

Nah, aku sendiri tak pernah menyebut diri sebagai penulis. Meski sesungguhnya, dunia penulisan sudah kutekuni sejak masuk kuliah. Memang, jika mengacu pada catatan waktu, durasi kerja terlamaku adalah di radio. Teman-teman lebih mengenalku sebagai orang radio atau penyiar dibandingkan sebagai penulis atau jurnalis. Di radio pun sebetulnya tak lepas dari urusan penulisan, terutama untuk produk jurnalistik radio dan kebutuhan materi iklan. Menulis juga untuk media cetak. Saat jangkauan internet makin meluas, wilayah garapan tulisan pun merambah ke media online. Menjadi content writer/creator

Baiklah, kucatatkan di sini pengalaman kerjaku terkait dengan dunia penulisan.

Sebagai reporter/ script writer/ copy writer

Saat bekerja di Radio Mara, aku mengerjakan cukup banyak hal. Masa kerja yang cukup panjang, 10 tahun, menjadikanku nyemplung ke beberapa bagian garapan. Tapi, lebih kurang untuk urusan penulisan, aku turun ke lapangan sebagai reporter. Mencatat lalu melaporkan apa yang teramati oleh mata, sebagai laporan pandangan mata, atau merawi aneka data baik dari narasumber maupun referesi menjadi laporan langsung berupa berita atau mengemasnya dalam bentuk feature udara. 

Sebagai penyiar, aku membuat script sendiri. Lebih sering hanya berupa poin, untuk dikembangkan langsung saat mengudara. Script biasanya aku buat untuk dijadikan produk informasi terekam.

Sebagai staf produksi, aku juga dituntut untuk bisa membuat iklan. Posisi copy writer tak betul-betul dipegang oleh satu orang, di radio tempat kerjaku, dan kurasa di hampir semua radio yang punya struktur organisasi kecil. Paling-paling sebatas koordinator saja. Kecuali radio besar yang memang memilah dengan tegas divisi pekerjaan. 

Sebagai reporter dan script writer media cetak

Dalam kurun 2007-2017 aku terlibat dalam penggarapan beberapa media cetak berupa majalah dan tabloid. Baik sebagai pekerja reguler maupun freelancer. Lebih kurang pekerjaannya menyerupai waktu bertugas di radio. Bedanya, kalau di radio menggunakan bahasa lisan, di media cetak yang bahasan tulisan. Di lain kesempatan akan kubagikan soal penulisan naskah radio (tolong ingatkan, yak 😉)

Sebagai reporter dan script writer media online

Saat fungsi internet sudah makin luas, pekerjaan pun merambah ke penulisan online. Garapan penulisannya, ya, tak jauh dari penulisan untuk media cetak. Hanya dilengkapi dengan kaidah SEO

Sebagai penyunting

Sejak tahun 2000 sekian belas aku mulai terlibat dalam kerja penyuntingan. Menyunting naskah memiliki tantangan tersendiri dibandingkan membuat naskah. Bukan hanya membetulkan aksara, namun juga logika kalimat. Sebuah pengalaman saat menyunting majalah internal sebuah kementerian, terbilang sering harus membongkar ulang semua bagian tulisan, karena laur logikanya yang tak pas. Dapat dimengerti, para penulisnya membuat tulisan semata karena penugasan. Tak semuanya memiliki kesukaan dan kemampuan menulis. 

Sedangkan terlibat proses penyuntingan buku, baru aku mulai tahun lalu. Menyenangkan juga, sekaligus belajar tentang penerbitan buku.

Baca juga: Menerbitkan Buku Antologi secara Mandiri


Sebagai blogger dan content creator 

Sebetulnya memulai blogging sudah sejak tahun 2000 pertengahan. Namun betul-betul "menjual diri" aka menjual jasa menulis untuk konten blog baru dilakukan dalam lima tahun terakhir. 

Begitu pun dengan garapan content creator, mulai dari media sosial dan mengisi konten web, mulai dari yang membantu teman, sebagai relawan di institusi tertentu, hingga menjual diri sebagai tenaga profesional. 

Sebagai "penulis"

Nah, kalau menyebut diri sebagai penulis dengan acuan buku, ada dua buku solo yang sudah kubuat. Baru dua buku. Buku pertama malah menggunakan nama kucing rekaanku, persisnya personifikasi dari kucingku yang bernama Naga. Satu lagi, kumpulan kisah, yang baru rilis Juni ini. Buku lainnya adalah kumpulan kisah kucing yang digarap bareng-bareng dengan teman-teman perkucingan. 


Semoga masih terus punya nyali untuk kembali melahirkan buku. 


Nah, itu dia beberapa bidang garapan yang pernah, masih, dan akan kulakukan terkait dunia penulisan. Selain pekerjaan lain sebagai pengisi suara, MC sesekali, dan menggarap aneka produk pelatihan bersama beberapa kawan.

Sedianya ingin melengkapi informasi terkait penulisan secara umum. Tapi ini saja sudah sangat panjang, bukan? Lain kesempatan akan coba kubagikan lagi padamu, kawan. Semoga bisa melengkapi kebutuhan untuk nyemplung ke dunia penulisan.

Baca juga: Jangan Pelihara Kucing jika Tak Mampu Berkomitmen

Tapi kalau yang dibutuhkan jasa penulis, boleh kontak saiyah, ya #kedipkedip 😍:

Email: dhenok.hastuti@gmail.com

IG/Twitter/Threads: @dhenokhastuti

FB: @dhenok.hastuti

atau WA 

Ah, iya, saat ini juga sedang menggarap sebuah buku biografi bersama tim. Kamu, mau aku bikinkan buku biografi? Pokoknya segala hal terkait penulisan masih akan terus menjadi garapanku. Sudah tak tahu lagi apakah ini berangkat dari hobi. Yang pasti aku menyukainya dan berkomitmen untuk mengerjakannya dengan baik. Jadi, demikianlah promosi dari Ibu Meong 😁 Terima kasih sudah menyimak 😘

Happy birthday to me



Bandung Wayang Festival, Ajang Buat Pecinta Wayang

Menyebut kata wayang mengingatkanku pada masa kecil di kampung halaman, di Jawa Timur. Tengah malam, nun di kejauhan suara gamelan bertalu. Pagelaran wayang kulit yang biasanya dilangsungkan oleh mereka yang punya hajat besar. Beberapa kali sempat nonton bareng keluarga. Tapi lebih banyak saat merem a.k.a tidurnya dibandingkan nonton 😅 Maklum, bocah..tak tahan begadang semalaman. Karena di masa lalu, pagelaran wayang memang berlangsung semalam suntuk. Apa kabar wayang di masa kini? Di antaranya bisa kita temukan dalam Bandung Wayang Festival (BWF).



Undangannya kuterima kemarin, roadshow to BWF yang diagendakan berlangsung pada Juli mendatang. Tapi baiklah, sebelum menuju BWF, kita ingat-ingat dulu tentang perwayangan di tanah air.

Wayang, sebuah seni pertunjukan yang telah ditetapkan UNESCO sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia. Dicatatkan sebagai warisan mahakarya dunia dalam seni bertutur yang tak ternilai (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Perwayangan lebih banyak dikenal di tanah Jawa. Namun sesungguhnya, wayang juga menjadi bagian dari tradisi budaya di sejumlah daerah seperti Sumatera (Melayu), dan di timur seperti Bali serta Nusa Tenggara. Laman resmi kemendikbud, menyebutkan, Indonesia setidaknya memiliki 18 jenis wayang. Di antaranya adalah Wayang kulit Purwa, Wayang Golek Sunda, Wayang Orang, Wayang Betawi, Wayang Bali, Wayang Banjar, Wayang Suluh, Wayang Palembang, Wayang Krucil, Wayang Thengul, Wayang Timplong, Wayang Kancil, Wayang Rumput, Wayang Cepak, Wayang Jemblung, Wayang Sasak (Lombok), dan Wayang Beber. 


Meski tersebutkan berjumlah belasan, namun dapat dibilang hanya empat atau lima saja yang populer. 


Wayang Beber 


Foto PHDI


Wayang ini dianggap sebagai wayang tertua di Indonesia. Konon sudah mula dikenal pada masa kerajaan Jenggala. Penamaan Beber diambil dari cara memainkannya. Pertunjukan wayang Beber adalah berupa ‘pembeberan’ atau pembentangan layar atau kertas berupa gambar. Sang dalang lalu menguraikan cerita lakon sesuai dengan gambar yang terpampang pada layar.

Wayang Purwa 

Foto Liputan 6
Wayang kulit Purwa dapat dibilang sebagai wayang paling terkenal di Indonesia. Mengutip laman Indonesia.go.id, catatan Pandam Guritno (1988) menyebutkan, Wayang Purwa mulai dikenal di Indonesia pada abad ke-11, yakni pada masa pemerintahan Raja Airlangga. Dikisahkan sang raja ingin membuat wayang untuk menceritakan perihal riwayat para nenek moyangnya. Inspirasi detil pada wayang kulit tersebut konon muncul saat sang raja melihat uiran pada Candi Penataran di Blitar. Wayang Purwa dibuat dari kulit kerbau atau kambing.

Wayang Golek

Foto CNNIndonesia
Yang tak kalah populer juga adalah Wayang Golek. Wayang tiga dimensi ini terbuat dari bahan kayu. Kalau Wayang Beber dan Wayang Purwa dikenal di wilayah Jawa Tengah dan Timur, Wayang Golek akrab dengan masyarakat Jawa Barat. Bahasa yang digunakan pun Bahasa Sunda. Wayang Golek diperkirakan muncul di Indonesia sejak abad ke-17, pengembangan dari wayang kulit. 

Wayang Orang 

Foto Liputan 6
Wayang Orang muncul pertama kali pada abad ke-18 di Solo oleh KGPAA Mangkunegoro I. Awalnya Mangkunegoro terinspirasi oleh seni drama yang berkembang di Eropa. Saat Paku Buwono X meresmikan Taman Sriwedari sebagai taman hiburan untuk umumpada 1899, dimulailah pertunjukan Wayang rang yang menjadikannya dikenal luas. Sesuai namanya, wayang ini bukan dimainkan oleh dalang, tapi diperankan langsung oleh manusia dengan kostum dan dandanan sesuai dengan tokoh-tokoh wayang kulit.  

Masing-masing jenis wayang memiliki kekhasan. Pada umumnya kisah yang dipanggungkan berangkat dari kisah Mahabrata dan Ramayana dengan muatan pesan menyesuaikan kebutuhan masyarakat setempat. 

Kembali ke BWF, ajang perwayangan ini bukan kali pertama digelar. BWF yang pertama dilaksanakan pada 22-30 April 2011. Sebelumnya, digelar terlebih dahulu Road To BWF, sebagai kegiatan  pengantar, yakni pada 5 Desember 2010. Kegiatannya berupa pameran wayang dan turunannya, pameran foto dan serta lukisan. Seluruh rangkaian BWF 2011 diikuti oleh sekitar 900 seniman dari berbagai pertunjukan wayang dalam berbagai media, mulai dari wayang tradisi hingga musik, film, serta pameran. Bukan hanya dari tanah air, tapi juga mancanegara. 

BWF 2011. Blog Ahda Imran.
Pada BWF 2020, tema yang diangkat adalah ‘keragaman’ yang disalurkan melalui media Seni Wayang, mulai dari latar belakang budaya, agama, serta cerita yang akan dimainkan. Selain itu juga beberapa ragam visual, filosofi hingga pendekatan baru untuk menyampaikan pesan moral kepada penonton. 

Nah, sebagai pengantar, pada 8-9 Februari ini akan digelar Road to BWF di Cihampelas Walk. Acara ini melibatkan cukup banyak penggiat seni pewayangan. Tiga acara utamanya adalah pagelaran Wayang Potehi Rumah Cinwa, Wayang Ringkang (45 dalang), dan Wayang Tavip. Di samping itu, akan ada workshop pembuatan wayang limbah, workshop alat musik tradisi (suling & karinding), serta wayang daun singkong oleh Pojok Napak Jagad Pasundan, Rampak Kendang Kendangers, Karinding Cekas Kasunda. Terdapat booth kriya, seperti Zeni Nugroho Art Studio (t’shirt dan totebag bertema wayang), Galeri Giri Harja (craft), dan Lukisan Kaca Kusdono Rastika.



Koperasi di Era Milenial: Fakta, Tantangan, dan Harapan


“Emang masih ada koperasi ya, Mbak, di sekitaran kita?” Begitu pertanyaan balik seorang kawan muda saat saya tanyakan tentang keikutsertaannya dan apa yang diketahuinya tentang koperasi. Tak hanya seorang yang memberikan jawaban serupa. Saya mencoba mengajukan pertanyaan tentang koperasi ini kepada beberapa kawan pada rentang usia milenial dan generasi X.

Aaaaahhhh...ga gaul aja itu kaliiiii! Bisa jadi iya, bisa juga tidak. Tapi faktanya, jawaban senada saya dapatkan juga dari responden lainnya.


Beberapa Fakta Pemahaman dan Pengenalan Orang Tentang Koperasi

Dari kalangan milenial, saya memilih responden beberapa kawan dengan latar belakang bervariasi: ibu rumah tangga, pekerja swasta, yang baru lulus kuliah, dan pekerja media. Dari sepuluh orang yang memberikan respon, hanya satu orang yang menjadi anggota koperasi. Itu pun karena diwajibkan sebagai karyawan kantor. Selebihnya bukan anggota, dengan alasan rata-rata:
1.     Tidak tahu harus masuk koperasi mana
2.     Tidak menarik
3.     Tidak pernah mendapatkan informasi baru tentang koperasi

Seorang kawan yang saya mintakan komentar dari anak-anaknya (generasi Y-Z) memberikan jawaban: “Mereka bilang gak keren! Gak bisa gesek, gak ada kartunya, gak ada aplikasi mobile banking, isinya nu geus kolot (pengurusnya tua-tua, red), urusannya simpan pinjam doang.”

“Saya hampir lupa kalau di negara ini ada yang namanya koperasi. Padahal dulu liputannya cukup sering ke dinas koperasi,” ungkap kawan lain, mantan wartawan sebuah harian bisnis terkemuka di tanah air. 

Hal yang saya temukan pada responden generasi X tak jauh beda. Hanya 3 dari 13 yang menjadi anggota koperasi. Dari tiga orang tersebut, seorang menjadi anggota karena tergabung dalam koperasi karyawan, sedangkan dua orang lainnya bahkan terlibat aktif. Seorang menjadi ketua, seorang lagi masuk tim pengawas. Ada 3 orang yang sebelumnya menjadi anggota, lantas mengundurkan diri.Alasannya, seorang karena alasan resign sebagai karyawan dan dua orang karena pengelolaan koperasi tak bagus. Selebihnya, tak menjadi anggota dengan alasan:
1.     Tak tahu harus masuk ke koperasi mana
2.     Tidak ada koperasi di sekitar area tinggal
3.     Tidak percaya dengan koperasi

Seorang kawan di Cirebon menceritakan, tahun 70-an ada sebuah koperasi yang berjaya. Sekarang sudah mati, benar-benar mati. “Baru-baru ini malah ada kasus koperasi yang melibatkan banyak orang. Bagaimana bisa percaya?” tandasnya.

Make sense bukan? Jaminan keamanan menjadi kebutuhan semua orang.

Seorang kawan lain, ibu dari anak generasi Z malah membuat kesimpulan: “Budaya koperasi teh kayanya ga cocok buat milenial.” Nah lho!

Koperasi dan Generasi Milenial 

Biro Pusat Statistik (BPS) memperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada rentang usia 20-39 tahun pada tahun 2020 akan ada di kisaran 84 juta orang atau sekitar sepertiga jumlah penduduk Indonesia. Bersamaan dengan itu, ekonomi digital juga mengalami perkembangan yang luar biasa. Sementara, penggunaan internet aktif pun diperkirakan telah mencapai 137 juta penduduk. 

Pada sisi lain, kita tahu generasi milenial memiliki kepekaan sosial. Generasi ini mau memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Hal ini sejalan dengan azas koperasi, memberikan dukungan kepada mereka yang membutuhkan demi terciptanya kesejahteraan bersama. Kondisi ini seolah langsung membawa kita pada muara: generasi milenial adalah kunci!


Kalangan perbankan telah demikian masif melakukan sosialisasi untuk menggaet generasi milenial. Transaksi dapat dilakukan secara online, cepat, mudah, tanpa birokrasi yang seringkali dinilai terlalu berbelit. Aneka materi edukasi terkait investasi ditayangkan di media sosial dengan menyesuaikan karakter generasi milenial.

Tentu saja tak dapat dilakukan perbandingan secara langsung, tidak apple to apple. Tapiiii...di era industri 4.0, koperasi dapat berharap banyak. 

Ketua Umum Asosiasi Start Up Teknologi Indonesia (Atsindo) Handito Joewono meyakini, Koperasi dan UKM 4.0 dapat menarik anak-anak muda untuk ikut berkoperasi karena berbasis teknologi. 

"Tidak perlu khawatir dengan penerapan Koperasi 4.0. Jika pada koperasi konvensional pertemuan harus secara fisik dan tanda tangan basah, maka pada koperasi jaman digital pertemuan bisa dilakukan secara online dengan tanda tangan digital. Kan sekarang sudah banyak juga yang melakukan cara seperti itu," kata Handito seperti dikutip Tribun (25/4/2019). 

Salah satu produk koperasi digital yang menarik dapat dicek di cooprasi.id, aplikasi yang diterbitkan Multi Inti Sarana


Cerita Dari Lampung

Sebuah pengalaman menarik saya dapatkan dari salah satu responden, kawan di Lampung. Yuli Nugrahani, karyawan Keuskupan Tanjungkarang baru saja didapuk sebagai salah satu pengawas Kopdit Mekar Sai, Lampung. 

Kopdit Mekar Sai telah menerapkan sistem digital. Kegiatan mengecek saldo, transfer dari dan ke bank, top up e-money, pembayaran fasilitas umum, dll, dapat dilakukan dalam genggaman. Aplikasi ini telah digunakan sejak April 2019. 

“Belum tahu persis pengaruh signifikannya untuk penambahan anggota. Tapi ini menjadi salah satu cara untuk menggaet orang muda. Bukan hanya sebagai pengguna tapi juga sebagai mitra,” ungkap Yuli. 

Selain pemanfaatan teknologi, sosialisasi face-to-face juga dilakukan. Saat ini menurut Yuli, timnya sedang menyasar koperasi-koperasi mahasiswa di Lampung, kelompok-kelompok orang muda, dan unit-unit kegiatan yang ada di kota ini. Hal menarik lain yang dilakukan oleh tim Kopdit Mekar Sai adalah menjalin kerjasama dengan pihak lain.

Pada pertengahan bulan yang lalu (Minggu (13/10), Kopdit Mekar Sai menggelar sebuah talk show tentang startup. Kegiatan yang merupakan kerjasama dengan Siger Innovation Hub ini merupakan rangkaian lanjutan acara Startup Coop Camp yang dilangsungkan selama 3 bulan pada bulan sebelumnya. Temanya, “Innovate, Collaborate, and Growth.” Kedua pemateri yang hadir berbagi ilmu tentang dunia startup dan mamaparkan pula pengalaman terkait usaha yang mereka tengah jalankan. 


Upaya yang dilakukan tim koperasi ini tak lain karena melihat peluang di masa depan yang baik bagi kalangan muda.  Startup merupakan sebuah peluang yang terus berkembang para era milenial ini. Dan koperasi dapat terlibat di dalamnya, yakni berkolaborasi dengan lembaga-lembaga yang kompeten di bidangnya. Tim dari koperasi yang dilibatkan semuanya anak muda, generasi milenial.

Pekerjaan Rumah Kita

Barangkali ini bukan catatan yang manis. Maaf, saya tidak bisa membuat catatan sekadar puja-puji dan optimistis berlebihan seperti yang saya temukan di banyak situs tentang koperasi. Buat saya, menemukan masalah adalah langkah awal untuk berikutnya merumuskan solusi bagi kemajuan. Tentu saja saya pun ingin ambil bagian untuk mencari solusi. Karena, saya anggota koperasi. Karena, saya mendukung ekonomi kerakyatan. Dan untuk pertumbuhan koperasi yang lebih baik di masa yang akan datang, kita perlu sama-sama mengakui kalau masih banyak PR yang harus diselesaikan. 

PR utamanya, koperasi harus berubah. Nuansa ‘kolot’ bikin generasi milenial enggan. Koperasi zaman now harus mampu mengikuti gaya generasi milenial seperti komunikasi, program yang inovatif, serta pengelolaan media online untuk sosialisasi dan edukasi. Foto yang menarik, meme yang lucu, video animasi yang inspiratif akan menjadi tayangan yang diminati para milenials. Sosialisasi terkait jaminan keamanan juga perlu terus dilakukan, terlebih dengan maraknya pinjaman online, yang -menyedihkannya- banyak mengatasnamakan koperasi.

Adalah fakta, banyak sekali koperasi yang masih berdiri tegak dan sukses menyejahterakan anggotanya. Adalah fakta, mulai banyak koperasi yang melibatkan generasi milenial untuk ikut memajukan lembaga yang disebut-sebut sebagai ‘saka guru perekonomian bangsa’ ini. Adalah fakta pula, masih banyak sekali masyarakat yang tak percaya koperasi, tak tertarik, bahkan yang sama sekali tak peduli. Dan ini menjadi PR kita bersama. Bukan hanya pengurus koperasi, namun kita semua yang peduli dengan terciptanya kesejahteraan yang lebih merata di tengah masyarakat kita. Semoga di era milenial ini, koperasi bukan hanya bertahan melainkan lebih maju lagi di tangan orang muda. Kalau sebelumnya, orang tua yang memasukkan anak-anaknya menjadi anggota koperasi, di masa kini, kaum mileniallah yang bakal menggeret para orang tua untuk ikut memajukan koperasi.


***

Ini buku kepesertaan saya di Kopdit Perekat. Yang warna biru, buku anggota. Yang warna hijau, buku simpanan khusus. Sejak menjadi anggota tahun 2008, saya sudah beberapa kali memanfaatkan dana pinjaman untuk mendukung modal usaha.


Dan sekarang saya sudah memanfaatkan pula layanan digital Kopdit Perekat. Dengan demikian, saya resmi menjadi bagian dari generasi milenial 😂


 #PRAJA2019 #anugerahMISGroup #koperasi #wirausaha