Bulan lalu melarikan diri sejenak dari keruwetan urusan ini dan itu di Bandung. Pilihannya: Bali. Sekaligus berharap bisa menemukan grentek untuk melanjutkan cerita yang ambil latar belakang tradisi dan budaya Bali. Empat hari berada di negeri seribu pura ini, tapi tak banyak kawasan yang bisa kukunjungi. Tak sebanyak kunjunganku satu dekade lalu. Karena keterbatasan gerak dan sambil bawa PR gawean. Tapi paling tidak ada 6 titik yang bisa kubagikan ceritanya dari kunjunganku kali ini, 3 tempat kuliner dan 3 kawasan religi.
Yup, kepergianku ke Bali kali ini yang keempat kalinya. Meski terbilang jarang, yaitu tahun 2001, 2010, dan 2014, tetap saja, hitungannya Bali menjadi tujuan terbanyakku berada di luar Bandung untuk urusan bukan kerjaan. Selama empat hari, satu harinya menginap di Mengwi dan melihat dari dekat model rumah wayah di Bali. Sedangkan tiga hari tersisa kembali ke kawasan Ubud, di penginapan yang tak jauh dari yang kutinggali dalam kunjunganku 10 tahun sebelumnya.
Mengunjungi (kembali) Tanah Lot
Awalnya berencana untuk menyaksikan sendratari di Uluwatu. Tapi agenda bergeser: Tanah Lot. Pada 2001 aku pernah berkunjung ke sini. Pekerjaan. Kerjaannya sebetulnya liputan untuk sebuah kegiatan DPRD Kota Bandung. Di antara agenda formal mereka, ada beberapa tempat wisata yang dikunjungi. Termasuk, pura di bibir pantai ini.
Tanah Lot berada di kawasan Tabanan, 30 km dari Denpasar. Pura terletak sekitar 300 meter di lepas pantai. Gambaran Bali dengan Tanah Lot-nya ini banyak kita jumpai dalam lukisan dengan berbagai format. Ada di mana-mana. Seperti yang: "kamu belum bisa dibilang ke Bali kalau nggak ke Tanah Lot".
Pura Tanah Lot yang diyakini berasal dari abad ke-16 ini telah mengalami banyak perubahan dan perbaikan. Dari pengamatanku sendiri, jauh berubah dibandingkan 23 tahun yang lalu. Ya iyalah, hampir seperempat abad! Haha. Area jalan kakinya lebih nyaman. Taman-taman lebih rapi. Fasilitas di sekitar seperti tempat makan, galeri benda seni, tempat parkir juga lebih memadai.
Baca juga kunjungan ke Bali sebelumnya:
Sebuah Perjalanan ke Bali Dwipa
Menikmati seafood dan sunset di Jimbaran
Mau cari seafood dan sunset? Ya, di Jimbaran! Begitu katanya. Aneka resto seafood Jimbaran ini berada di sebuah teluk yang disebut Jimbaran Bay. Persisnya di Kampung Kedonganan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Lokasinya tak jauh dari Nusa Dua dan Bandara Internasional Ngurah Rai. Kalau dari Pantai Kuta, kisaran 15-25 menit dengan menggunakan mobil.
Tiba di kawasan kuliner Jimbaran disambut dengan sederet rumah makan yang semuanya sibuk. Rasa-rasanya, sejauh mata memandang dari titik awal memasuki area parkir yang penuh oleh kendaraan, semua tempat makan dipenuhi asap. Menu bakaran. Ada antrean di hampir semua pintu masuk resto. Begitu banyak nama, dan aku tak ingat satu pun. Termasuk resto yang kemudian kami pilih.
Resto-resto seafood ini berdiri memunggungi pantai. Di balik bangunannya adalah medan panjang berisi meja kursi makan. Menyatu dari resto paling ujung ke ujung yang lainnya. Semuanya dalam posisi sejajar, sekitar 10 meter dari garis pantai. Yang membedakan adalah detail dekorasi meja kursi dan pakaian yang dikenakan para pramusaji.
Dari beberapa situs yang kutemukan, keberadaan kawasan kuliner ini berawal dari kebiasaan para turis pada sekitar 30 tahun lalu. Mereka yang berjalan kaki menyusuri dan menikmati pantai Jimbaran, ambil jeda di kawasan ini. Belanja ikan dari para nelayan setempat, sekalian minta diolahkan, baik digoreng maupun dibakar untuk mereka makan ramai-ramai. Seiring dengan laju pertumbuhan pariwisata di Bali, tempat ini pun berubah menjadi ajang bisnis kuliner yang terkenal dan menjadi salah satu ikon di Bali.
Aku tak ingat persis judul makanan yang kupesan. Yang pasti ada nasi, tumis sayuran, dan olahan seafood yang terdiri dari ikan, cumi, udang, dan kerang. Rasanya? Biasa saja. Sajian makanan di sini kurasa diuntungkan oleh sumber seafood yang masih segar. Konon semua seafood yang menjadi bahan utama di sini adalah hasil tangkapan nelayan Kedonganan yang mata pencarian utama mereka memang menangkap binatang laut di sekitar teluk Jimbaran. Beragam hasil tangkapan nelayan itu tersaji di bagian depan resto, dalam keadaan masih hidup atau dingin segar.
Serius, buat lidahku yang sebetulnya tak terlalu lihai untuk urusan kuliner ini, menu di Jimbaran, setidaknya yang kupesan, biasa saja. Yang membuatnya jadi nikmat adalah kualitas bahannya yang masih segar, daaaaan bisa menikmati makanan sambil pelan-pelan menyaksikan matahari yang sembunyi di balik perbukitan nun di area barat Jimbaran Bay.
Kota kelahiranku punya beberapa pantai. Yang pernah kudatangi, Prigi, Karanggoso, Pelang. Tiga kali aku ke berkunjung ke Pangandaran, salah satu pantai terkenal di Jawa Barat. Pernah bertandang di pantai seputaran Merak dan Lampung. Tiga bulan di Sorong sempat mengunjungi beberapa pantainya. Delapan bulan tinggal di Manado, sudah tak terhitung aku melewatkan makan pagi-siang-malam di area pantainya. Tapi pengalaman menikmati makan seafood saat sunset di Jimbaran, memunculkan sensasi tersendiri. Mungkin menikmatinya bersama siapa, ada pengaruhnya juga, sih, ya... Ehmmm!
Eh, tapi bener. You must try!
Baca juga cerita perjalanan sebelumnya:
Ngadem di Soekasada
Mengenal Tempat Pemujaan Umat Hindu
Rusters Coffee, kafe yang instagramable
Memasuki hari kedua di Ubud, ingin mencoba kafe yang tak jauh dari kawasan ini. Ketemu nama ini: Rusters Coffee. Berjarak 6 km dari penginapan. Persisnya berlokasi di Jalan Raya Kengetan No. 44, Singapadu Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Dari Denpasar sekitar 20 km, 50 menit perjalanan. Kalau tidak macet! Tampaknya belakangan ini kemacetan menjadi masalah di Bali.
Ini kafe, cakep! Lokasinya terpisah dalam beberapa titik, outdoor dan indoor. Area outdoor berbatasan langsung dengan sawah. Segar di mata. Kubayangkan jika datang pagi atau sore pasti menyenangkan. Sayangnya aku tiba saat matahari sedang terik-teriknya. Outdoor bukan pilihan yang menyenangkan. kecuali para bule yang pengin ngitemin kulit. Untuk penyuka kopi, ada coffe shop dalam ruangan berdinding kaca.
Kafe berada di daerah dengan tanah berkontur. Tersedia tangga di beberapa titik. Berbahan kayu, menyatu dengan komponen bangunan lain yang terbuat dari bahan alam. Termasuk keberadaan keramik-keramik yang menjadi pajangan. Bagi yang berminat, ada workshop yang dibuka secara berkala.
Menunya banyak dan beragam. Masing-masing harganya premium, lumayan menguras kocek. Sayangnya tak cocok dengan selera lidahku. Enak, hanyak tak cocok saja. Bukan tempat yang ingin kukunjungi ulang. Tapi buat kalian yang gemar berfoto, cakep dah, untuk tampilan penyajian makanan/minumannya, pun bangunan dan lingkungannya, layak disambangi.
Baca catatan perjalanan sebelumnya:
Berkunjung ke Tenganan
Tirta Gangga, Taman Air di Kaki Gunung Agung
Pura Samuan Tiga dan sejarah penyatuan kepercayaan di Bali
Pura Samuan Tiga berlokasi di Jalan Pura Samuan Tiga, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Pura yang dulunya dikenal sebagai Pura Gunung Goak ini tercatat memiliki sejarah dan peran besar dalam menjaga persatuan di Bali.
Di masa lalu, ada banyak sekte dan aliran kepercayaan di Bali. Pura ini menjadi tempat pertemuan para pemimpin ketika perlu sama-sama mencari jalan keluar permasalahan sekte yang ada. Mpu Kuturan, yang dikirim oleh Raja Airlangga untuk membantu adik bungsunya, dipercaya untuk memimpin pertemuan yang pesertanya adalah sembilan pemimpin sekte. Sembilan sekte tersebut adalah sekte Pasupati, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora, dan Ganapatya. Ciwa Sidhanta dianggap sebagai sekte yang paling dominan. Perkembangan masing-masing yang mengarah ke sektarian inilah yang memunculkan potensi konflik dalam kehidupan sosial keagamaan.
Beruntunglah, pertemuan-pertemuan tersebut selalu melahirkan keputusan yang positif. Hingga kemudian tercetus ide dari Mpu Kuturan untuk mendirikan Pura Kahyangan Tiga dengan konsep desa pakraman di Bali. Ini diartikan sebagai tiga tempat suci yang dihubungkan dengan konsep Trimurti yang terdiri atas Dewa Brahma (Pura Desa), Dewa Wisnu (Pura Puseh), dan Dewa Siwa (Pura Dalem). Sejak saat itu Kahyangan Tiga menjadi simbol persatuan masyarakat Bali. Dan nama Pura Gunung Goak pun diubah menjadi Pura Samuan Tiga, yang artinya pura pertemuan (tiga). Dari sisi struktur ruang, Pura Samuan Tiga terdiri dari 7 halaman, yakni Mandala Jaba Sisi (ruang terbuka), Mandala Penataran Agung, Mandala Duwur Delod, Mandala Beten Kangin, Mandala Baten Manggis, Mandala Sumanggen, dan Mandala Jeroan.
Saat ini, Pura Samuan Tiga telah ditetapkan sebagai salah satu situs cagar budaya di bawah naungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Bali. Mendatangi kawasan pura ini kita disambut dengan pohon-pohon besar yang menaungi halaman depan pura yang dimanfaatkan sebagai area parkir. Alami, asri, teduh.
Di samping kompleks pura, ada bangunan terbuka yang secara berkala dijadikan tempat pertemuan dan wahana latihan anak-anak berlatih tari.
Menguji tenaga di Candi Tebing Gunung Kawi
Ini menguji tenaga dalam arti yang sesungguhnya. Cape, bo! Entah berapa anak tangga yang harus dilewati untuk mencapai ujung kompleks candi ini.
Candi Tebing Gunung Kawi yang merupakan persemayaman abadi raja-raja Dinasti Udayana. Bangunan ini berada di antara area hijau persawahan, di Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.
Dari beberapa referensi yang kutemukan, menyebut Candi Tebing Gunung Kawi diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-11 Masehi. Pembangunan 10 candi besar yang dipahat pada dinding tebing batu pasir ini dilakukan pada masa Dinasti Udayana (Warmadewa). Dimulai pada masa pemerintahan Raja Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 M) dan selesai pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 M). Dikatakan, Raja Marakata membangun kompleks candi ini sebagai tempat pemujaan bagi arwah sang ayah, Raja Udayana. Menurut catatan sejarah, Raja Udayana dan Permaisuri Gunapriya Dharmapatni memiliki tiga anak, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga kita kenal sebagai Raja Kediri.
Kesepuluh candi tersebut dibagi dua, di sisi timur Sungai Tukad Pakerisan dan di sisi barat sungai. Lima candi yang berada di sisi timur sungai dianggap sebagai bangunan utama dari kompleks Candi Tebing Gunung Kawi. Bangunan yang paling tua atau yang pertama dibangun adalah candi yang posisinya paling utara dari rangkaian lima candi ini. Sedangkan di sisi barat sungai, empat candi berdampingan menghadap ke sungai dari utara ke selatan. Satu candi lain terpisah, sekitar 200 meter dari keempat candi itu.
Pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu, Candi Tebing Gunung Kawi difungsikan sebagai pura dan sarana peribadatan keluarga kerajaan. Pada dinding-dinding batu pasir kompleks candi ini, terdapat beberapa ceruk dengan berbagai ukuran. Ada yang sempit, ada pula yang cukup lebar. Yang menarik, ceruk-ceruk tersebut diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai tempat meditasi umat Buddha. Keberadaan ceruk meditasi umat Buddha ini dianggap sebagai harmoni dalam kehidupan beragama di masa itu.
Aku sempat mengambil video di kawasan ini. Sungguh, terlalu menarik untuk dilewatkan. Sayangnya, si smartphone sedang ngadat. Nge-hang dan gambar yang sudah terekam hilang begitu saja. Mungkin aku diminta berkunjung lagi di kesempatan lain.
Baca juga catatan sebelumnya:
Menjajal bubur Laota
Berhubung lokasi Laota ini di area menuju bandara, masuknya di jadwal akhir. Persisnya dia ada di Jalan Raya Kuta No. 530, Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Sebetulnya ada beberapa cabangnya, tapi warung awal sepertinya sering dijadikan pilihan pertama.
Ada banyak pilihan menu di sini. Menunya khas oriental, seperti dimsum, aneka bakpao, olahan bebek dan ayam, olahan seafood. Cuma dalam bayanganku, buburnya saja. Selain karena jauh-jauh hari promo tentang bubur Laota ini begitu intensifnya, juga karena lambungku gak bisa dijejalin aneka penganan dalam satu waktu.
Bubur disajikan dalam mangkok besar. Buat yang porsi makannya tak banyak, semangkok cukup untuk berdua. Pilihnya bubur seafood aja, karena aku membayangkan udang yang besar-besar sepertinya yummy. Selain udang, ada ikan, cumi, kepiting, dan entah apalagi. Toppingnya sama dengan bubur ayam di Bandung: cakue! Tak ada sambal. Penggantinya adalah saus jahe dan entah apa lagi rempah yang dicampurkan. Enak, hangat. Minumnya cukup teh hijau panas yang disajikan dalam teko dan mangkok minum serba putih.
Kalau ini sih, di lidahku jelas-jelas enak. Dan jelas akan diulangi saat kelak berkunjung lagi ke Bali.
Begitulah, empat hari yang menyenangkan di antara cicilan pekerjaan, alam Bali yang ngangenin, dan kawan-kawan yang asyik. Untuk Bli Yogi dengan traktirannya, Mas Narto yang kembali jadi pemandu seperti 10 tahun lalu, dan Bli Putu serta Bli Dodo (eh, bener nggak, sih?) yang antar wara-wiri, hatur nuhun. Sampai ketemu lagi. Namaste.
Referensi dari berbagai sumber
No comments