Sebut Saja Isti.. (Sebuah Cerita Dari Pamugaran)

Rasa gerah tak juga beranjak saat pekat malam mulai menyelimuti tepian Laut Pangandaran. Sepertinya suhu udara tak jauh berubah dibandingkan siang yang terpanggang matahari. Tapi degup kehidupan malam mulai menemukan tempatnya. Gemerlap lampu dan musik di sepanjang kiri-kanan jalan mulai riuh terdengar. Pada beberapa titik berdiri tempat hiburan yang sekaligus menjadi pusat aktivitas seks komersial. Ke titik-titik itulah kami menuju.


Ini catatan kunjungan lapangan sebulan lalu yang belum sempat saja tertuliskan. Pada kali pertama mendapatkan tawaran untuk melakukan kunjungan ke lokalisasi, antara ‘wow’ dan ‘hmmm’.. Serbuan cerita, pendapat, dan stigma tentang wanita pekerja seks (WPS) yang kita terima sedari kecil, sedikit banyak pasti mempengaruhi. Buatku setidaknya. Sekalipun selalu berusaha objektif terhadap berbagai hal, apa yang diterima oleh telinga sepanjang masa mau tak mau mengusik cara pandangku terhadap sesuatu. Pun terhadap WPS ini atau yang sebelumnya juga dikenal dengan istilah pekerja seks komersial (PSK), atau pengistilahan lain seperti wanita tuna susila (WTS), pelacur, sundal, ciblek, dsb. Undangan kunjungan ini datang dari Aids Healthcare Foundation (AHF), sebuah yayasan yang bergerak di bidang public health spesifiknya dengan garapan isu HIV/Aids. Aku ditemani tim pendamping/mitra lokal dari Yayasan Mata Hati, Pangandaran. Ada dua lokalisasi yang kami kunjungi, Pamugaran 1 dan Pamugaran 2. Aku memilih ke Pamugaran 2.

Memasuki area lokalisasi, tampak bangunan-bangunan semi permanen berdiri dalam deret acak. Masing-masing bangunan yang disebut ‘warung’ itu terlihat terang dengan gempita musik dangdut dari dalamnya. Tampak beberapa orang bercakap dan bercengkerama di teras warung. Sekitar bangunan masih bersisa tanah-tanah kosong dengan belukar. Gelap. Ada sedikit perbedaan antara warung dan kafe. Bangunannya sama-sama sederhana. Namun, kafe lebih gemerlap. Selain kerlip lampu, juga para pekerjanya tampil dengan pakaian yang lebih ‘wah’. Sebagian yang sempat kutemui mengenakan dress ketat dengan kaki beralas high heels

Tiba di sebuah warung yang dituju, seorang perempuan menyambutku. Ia menyodorkan tangan, tersenyum ramah: Rima (bukan nama sebenarnya). Tanktop dan celana jeans membalut tubuhnya yang tinggi dan padat berisi. Ia pemilik warung. Ada 4 perempuan yang tinggal di warung ini, termasuk Rima. Salah seorang yang sudah dibuatkan janji kunjungan, menungguku di kamarnya. Kebetulan ia sedang ‘tidak bertugas’.

Ukuran warung kuperkirakan sekitar 13x6 meter persegi. Ketiga ‘kru’, sebut saja demikian, berada di setengah bagian warung, sisi kanan. Setengah bagian lain adalah lapak dagangan berisi aneka minuman-makanan kemasan, kamar Rima, dan ruang tengah berisi televisi beserta cd player dan mikrofon, dilengkapi dengan bangku dan meja panjang. Dua tamu sedang asik menyanyikan lagu dangdut lama milik Mansyur S. Kang Yusuf dari Mata Hati mengajakku memasuki area kanan warung. Bagian ini berisi tiga kamar; dua saling berhadapan, terpisah lorong. Kamar ketiga berhadapan dengan kamar mandi. Sedangkan ujung lorong, antara kamar ketiga dengan kamar mandi, dimanfaatkan sebagai dapur.

“Maaf, Teh.. lagi ngga enak badan.” Sebut saja Isti, yang langsung mempersilakan aku masuk ke kamarnya. Wajahnya polos tanpa makeup, dengan pakaian sekadarnya. Kuedarkan pandang mata ke seluruh ruangan. Kamar berukuran sekitar 3x2,5 meter. Kasur berukuran satu terhampar di lantai dengan sprei berantakan. Beberapa baju tampak bertumpuk pada salah satu sisinya. Pada tepi dinding, berdiri lemari plastik, bersebelahan dengan rak kecil berisi beberapa perlengkapan. Sempat terjadi kekakuan di antara kami. Aku yang kararagok kalau istilah Bahasa Sunda, dan Isti yang tampaknya juga agak menutup diri. Berulang kali ia membentengi diri dengan menyebut diri sebagai ‘pemandu lagu’ atau PL di warung tersebut. Rasanya tak leluasa untuk langsung bertanya tentang seberapa berhasil proses pendampingan dan edukasi kesehatan dari tim AHF – Mata Hati terkait penggunaan kondom di wilayah tersebut. Sedikit ice breaking tentang keluarga, akhirnya Isti mau membuka diri.

Mencoba keluar dari kemiskinan

Klise? Bisa jadi. Hal sama sering kita dengar. Tapi ya mungkin begitulah adanya. Berpisah dari suaminya, tak mudah bagi Isti untuk menjadi orang tua tunggal terutama urusan finansial. Pekerjaan yang sebelumnya di kota ia berasal, Purbalingga, tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pendidikan bagi kedua anaknya. Maka ketika ada tawaran untuk hijrah ke Jawa Barat, ia mengiyakan. Cukup dengan menjawab pertanyaan, “Isti suka nyanyi kan?” dari si pemberi pekerjaan, Isti pun meninggalkan kampung halamannya. Namun harapan tak seindah kenyataan. Tiba di Pangandaran, ia dihadapkan pada pilihan ‘menjadi pemandu lagu sekaligus melayani tamu’ atau pulang kembali ke rumah orang tuanya. Ia memilih untuk tinggal. Saat itu ia bekerja di Pasar Wisata (PW). Sekitar 1,5 tahun bekerja di PW, lalu pindah ke Pamugaran 2. Isti tak menjelaskan alasan persisnya. Namun seperti banyak diketahui, dalam bisnis komersialisasi seks, ada istilah ‘barang baru’. Tak heran kalau secara berkala WPS akan berpindah lokasi, baik masih di wilayah yang sama maupun beda kota.

Terpikir untuk berhenti dari pekerjaan ini? Lagi-lagi, pertanyaan klise.

“Iyalah, Teh. Siapa sih yang suka pekerjaan semacam ini. Apalagi ibu-ibu seperti saya,” aku Isti. Tapi ia belum mempunyai target waktu. Usianya sudah lewat dari 37 tahun. Isti menyadari pekerjaan seperti yang dilakukannya sekarang dibatasi oleh usia. Sejauh ini ia hanya berusaha menabung dulu hingga tiba saatnya untuk berhenti. “Mungkin bikin usaha kecil-kecilan di kampung,” tambahnya. Yang bisa dilakukannya kini adalah pulang kampung saat memasuki bulan puasa hingga setelah Lebaran. Menitipkan uang buat kebutuhan kedua anaknya, lalu kembali ke Pangandaran untuk bekerja. Jenis pekerjaan yang tak akan diberitahukannya kepada keluarganya, sampai kapan pun.

Dalam sebulan bisa mengumpulkan uang berapa banyak?

“Ngga tentu, Teh. Kadang berlebih, kadang ya pas-pas aja.” Meski tak memberikan angka detailnya, Isti memberitahu gambaran kasarnya. Uang yang ia terima dari lelaki pengguna jasa ada di kisaran Rp300.000. Kadang ada yang menawar 50 ribu lebih murah. Kalau sedang berbaik hati atau sedang tak punya uang, ia terima. Paling banyak ia hanya mau melayani maksimal dua tamu sehari. Tapi tak selalu ada tamu yang perlu dilayani tiap harinya. Kadang ia hanya menemani tamu ngobrol atau berkaraoke. Tak jarang ada tamu langganan yang memberinya uang, tanpa meminta balas jasa. Pada hari lain kadang tanpa pemasukan; pada hari-hari sepi atau saat siklus bulanannya datang. Atau ketika ia sedang tak ada mood untuk melayani dan atau kedatangan tamu yang tak menyenangkan.

Memang boleh ‘tidak mood’ dan menolak tamu? Ternyata boleh saja. Ada yang menarik dari model kerjasama antara pemilik warung dan para kru-nya ini.

Sistem sewa dan kebebasan para pekerja

Dari kabar yang sering bersliweran di media, maupun yang coba digambarkan melalui film, para WPS sering mendapat tekanan dari para mucikari. Di Pamugaran, baik 1 maupun 2, tak ada mucikari. Sistem kerjasamanya adalah sewa tempat. Itu pun hanya berlaku jika para kru melakukan hubungan seks dengan tamu. Jika kru hanya menemani minum atau makan, ia tak perlu membayar apa pun ke pemilik warung. Bahkan pemilik warung tak minta jatah dari uang sawer yang diberikan tamu kepada kru. Pun para kru ini tak dikenai uang sewa tinggal, malah makan-minum gratis. 

Lalu pemilik warung mendapat keuntungan dari mana? 

Begini.. Transaksi layanan seks dilakukan langsung antara kru dan tamu. Jika tercapai kesepakatan, maka kru membayar kepada pemilik warung. Besarannya Rp50.000 per tamu. Kecuali jika tamu mengajak kru untuk memberikan layananannya di tempat lain, hotel misalnya, maka si tamu berkewajiban membayar Rp100.000 kepada pemilik warung. Dengan catatan tidak menginap. Pemilik warung tak perlu tahu tentang besaran uang jasa yang diterima kru-nya. Di luar itu, pemilik warung hanya mendapatkan keuntungan dari penjualan makanan-minuman. 

Memang cukup pendapatan dari makanan-minuman yang murah meriah itu?

“Memang sih murah, kopi cuma 3.000 segelas. Tapi kalau sehari ada 100 gelas kan lumayan, Teh. Itu baru dari kopi, belum makanan atau cemilan.” Rima menjawab kepenasaranku. Begitu pula dengan penolakan terhadap tamu, jika alasannya masuk akal, diijinkan. 

Apa saja alasan penolakan yang dianggap masuk akal?

Isti menitikberatkan pada perilaku. Pada tamu-tamu yang ia rasa suka melakukan pemaksaan atau bicara kasar, ia akan menolak dengan berbagai alasan. Tapi yang paling mudah adalah penolakan dengan menyodorkan tarif layanan yang tinggi. Biasanya tamu akan keberatan lalu mundur. Atau ketika tamu tak bersedia mengenakan kondom, maka kru berhak untuk menolak. Kondom sebagai prasyarat pelanggan ‘jajan seks’ di Pamugaran ini memang sudah lama diterapkan. Fungsinya tak lain adalah untuk mencegah terjadinya penularan infeksi menular seksual (IMS) maupun penyakit menular seksual (PMS). Para WPS tampaknya sudah menyadari betul manfaat dari aturan ketat penggunaan kondom tersebut semata demi keamanan mereka sendiri. 

Sebagai pengguna jasa yang notabene pembayar, apa mereka tidak marah?

“Ada aja sih yang marah. Tapi da saya keukeuh ga mau. Silakan cari yang lain aja kali ada yang mau. Tapi kalau di lingkungan sini memang udah wajib kondom. Ada yang datang udah bawa sendiri. Ada yang engga, makanya saya selalu ada stok. Kalau mereka mau, baru lanjut,” ujar Isti sambil menarik laci meja menunjukkan stok kondom di dalamnya.

Kembali aku melirik area kamar. Laci-laci yang setengah terbuka dengan aneka pernik berserak. Lalu berpindah pada dinding pembatas. Bagian atas dinding papan dibiarkan terbuka. Barangkali dimaksudkan untuk sirkulasi udara. Membayangkan bagaimana mereka melakukannya di ruang seterbuka itu? Terselip pikiran liar di benakku. Kagok, tapi tak urung kutanyakan juga: tamunya ga risih apa, Teh, terbuka begini?

“Ya ngga tau.. risih juga mungkin ya. Makanya ada yang ajak pindah ke hotel. Tapi kalau uangnya pas-pasan ya terpaksa di sini aja,” ujar Isti tertawa sembari menyusut hidungnya dengan tisu. 

Perihal penolakan sudah, bagaimana halnya dengan jatuh cinta sama tamu? Pernahkah?

“Ah, Teh.. enggalah. Kalau menurut saya, orang bisa datang ke sini, ya udah pasti dia datang ke tempat lain yang seperti ini juga. Ngga adalah jatuh cinta-jatuh cintaan. Lagian saya di sini juga cuma buat kerja. Kalau jadi berteman baik, ada. Itu yang kalau ketemu suka kasih uang.” Isti mencoba realistis, tak ada cinta di lokasi ia bekerja. Yang ada transaksi ekonomi semata. Pada saatnya nanti ia akan berhenti, lalu memulai kehidupan baru di kampung halamannya. Sebelum sampai di titik itu, ia berusaha menjalaninya. Sewajarnya. Termasuk kepatuhan untuk wajib pakai kondom, memeriksakan kesehatan sebulan sekali, dan melakukan tes hiv tiga bulan sekali. 

Isti mulai kelihatan letih, dengan sesekali terbatuk. Aku pun lekas berpamit dan mempersilakan ia melanjutkan istirahat. 

Di ruang tengah, dua tamu masih bersetia dengan Mansyur S. Asik, dan mengabaikan kehadiranku yang lalu lalang di hadapannya.

Engkau teman karibku lebih dari saudara
Jangankan makan minum, tidur kita berdua
Bukankah engkau tahu dia itu milikku
Namun begitu tega kau kau rampas segalnya
inikah balasannya akhlak teman setia..

“Mereka dari Bima, pedagang obat. Banyak pedagang yang jauh-jauh mampir ke sini. Kadang cuma untuk nyanyi-nyanyi.” Rima bercerita sambil mengantarku ke teras. 

Membayangkan mereka, para pedagang nun jauh dari seberang, lelah dengan pekerjaan, perjalanan, dan barangkali kepenatan hidup. Menghibur diri dengan menyanyi. Tak mampu untuk ke pub gemerlap. Tak sanggup menyewa hotel berbintang. Lalu mendamparkan diri di sini, warung remang di pesisir barat Pangandaran. Mereka hanya beberapa, dari sekian banyak manusia lainnya. Sebuah perjumpaan; para ‘penjaja cinta’ yang mencari penghidupannya dan para ‘pembeli cinta’ yang entah sebatas mencari hiburan atau tengah melarikan diri dari kerumitan hidup. Terlepas dari perkara benar dan salah, di luar konsep setia dalam hubungan, ada rasa miris menyelinap. Miris yang entah apa. Kang Yusuf memberiku tanda untuk segera berpamit. Kami pun segera meninggalkan warung Ceu Rima, menembus gelap jalanan bersemak. Lamat-lamat Mansyur S masih bernyanyi di telingaku..

Putus kinilah sudah persaudaraan kita
Yang lama kita bina susah senang bersama
Apa arti berteman di belakang kau menikam

21 comments

  1. HIks.. sedih baca begini. Selalu alasan kemiskinan jadi jalan melakukan pekerjaan ini. Padahal masih banyak pekerjaan lain yang bisa dilakukan.

    ReplyDelete
  2. Aku kepengen nangis ngebayangin berada di posisi isti mba Dhenok. Gak kebayang sih harus menjaga rahasia kelam dari keluarga dan bahkan anak-anak yang harus diberi makan.
    Ya Allah...

    ReplyDelete
  3. Semoga Bu Isti diberikan kecukupan rezeki agar bs meninggalkan pekerjaan sbg WPS. Diberi petunjuk jg sm Yang Kuasa agar kembali hidup layaknya seorang istri dan ibu di rumahnya bersama buah hatinya. Amin

    ReplyDelete
  4. terkadang kita harus dihadapkan jalan memilih atau bertahan? Makanya, aku nggak mau judge orang, sebab kita tak pernah tahu apa yang mereka hadapi

    ReplyDelete
  5. hati tersayat setiap membaca latar belakang perempuan - perempuan yang terpaksa mencari makan dengan PSK.semoga ada jalan keluar untuk hidup lebih baik

    ReplyDelete
  6. Aku pernah dialog seperti ini dengan mereka..miris banget. Bahkan aku pernah diancam sama germonya karena menawarkan bantuan untuk modal usaha agar mereka bisa mandiri secara finansial

    ReplyDelete
  7. Ya Allah moga Mbak Isti dkknya menemukan pekerjaan yang lebih baik aamiin. Teringat dulu pernah nyasar di kawasan lokalisasi dan ngelihat sendiri gmn kehidupan di sana. Sedih sekali dengan alasannya, seperti keterpaksaan, ketidakmampuan, kemiskinan, dll gtu ya mbak.

    ReplyDelete
  8. Pengalaman mba dhenok sungguh luar biasa.
    Pengalaman orang seperti Isti pun tak dapat dikatakan biasa.
    Semoga Allah memudahkan jalan Isti untuk keluar dari dunianya saat ini, dan berkumpul kembali bersama keluarganya

    ReplyDelete
  9. Saya agak lama berpikir saat akan menulis komentar, Mbak Dhenok. Soalnya apa yang dilakukan oleh Isti dan isti.. isti lainnya adalah pilihan. Saat mereka akan masuk ke dunia ini, sudah ada pilihan, mau menerima pekerjaan (Masuk ke dunia kelam) atau kembali ke kampung (tetap di jalan lurus).
    Dan no menghujat, karena itu pilihan mereka. Semoga Isti segera kembali ke jalan yang sebenarnya. Aamiin.

    ReplyDelete
  10. Isti ini salah satu contoh potret buram yang bisa kita temukan di beberapa lokasi spesifik, ya Mbak. Mereka ada tapi tampak tak ada. Bergelut dengan hidup yang dipilihnya sendiri. Semoga kita dijauhkan dari posisi seperti ini, selalu kuat menjaga iman.
    Bukan bermaksud mencela Isti. Hanya berdoa agar tidak menjadi Isti yang ini.

    ReplyDelete
  11. Harusnya sih kalau punya skill ya tidak akan melakukan hal seperti itu, sedih aku sih iya, cuman ya semoga mereka menyadari potensi mereka dimana seperti itu

    ReplyDelete
  12. Ulasan mengenai wanita malam ini sangat menarik dibahas, tapi bukan untuk menjatuhkan, melainkan kisahnya yang mungkin bisa jadi pelajaran hidup buat siapa saja. Memang pastinya dilatar belakangi dengan kemiskinan.

    ReplyDelete
  13. Suka miris mendengar cerita seperti ini, tetapi kadang ketika sudah terjerumus sekali akan susah untuk kembali. Disitu kadang mereka berfikir untuk "ya udah, aku bisanya cuma begini" dan disitulah kesalahn selanjutnya berlanjt... entahlah, dalam hal ini wanita lebih memahaminya

    ReplyDelete
  14. Tanpa disadari banyak Isti lain di luar sana. Aku turut prihatin, tapi belum bisa melakukan sesuatu untuk bisa membantu kehidupan mereka. Semoga rezeki selalu dilancarkan ya.

    ReplyDelete
  15. Hati saya selalu sedih membaca Hal tentang wanita seperti isti ini. Semoga anak cucu Kita bisa dikuatkan imannya walaupun berada dalam himpitan ekonomi agar tidak terjerumus dalam dunia seperti itu.

    ReplyDelete
  16. baca ini rasanya miris sih mba.. berharap semoga ada lapangan pekerjaan yg lebih baik dan positif lingkungannya..

    ReplyDelete
  17. semoga orang yang disebut sbg isti dicerita ini dimudahkan Allah untuk selalu meraih rezeki yang bukan hanya halal tapi toyyib ya mba.

    ReplyDelete
  18. Semoga jalan Mbak Isti dan teman-temannya ke jalan kebaikan makin dimudahkan. Miris bacanya. Banyak memang kasus seperti ini. Benar adanya, klise tapi kita memang harus tetap peduli

    ReplyDelete
  19. Semoga Allah segera memberikan hidayah kepada mbak Isti dan teman-temannya. Speechless akutu

    ReplyDelete
  20. Kok jadi sedih baca begini. Kenapa alasan kemiskinan jadi jalan melakukan pekerjaan ini. Padahal masih banyak pekerjaan lain yang bisa dilakukan.

    ReplyDelete
  21. Ah, sedih banget bacanya mbak. Kelihatan banget nulisnya dari hati. Tetap positif thinking dan semangat mbak. Semoga segera ada solusi ya

    ReplyDelete