Jelajah Taman Buru Masigit Kareumbi

Meski sudah tinggal di tanah Pasundan lebih dari seperempat abad, aku tak akrab dengan namanya. Entah kenapa, selama ini, nama Kareumbi tak pernah singgah dalam bacaan dan obrolanku. Hingga akhirnya, tahun lalu berkesempatan untuk menjejakkan kaki ke kawasan yang sebagian besarnya secara administratif masuk Kabupaten Sumedang ini. Persisnya aku melakukan perjalanan ke kawasan Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi (TBMK) 


Baca juga: Perjalanan ke Bali, Mengenal Tempat Pemujaan Umat Hindu

Ini catatan tersimpan lama, karena keburu mengambil pekerjaan reguler dan terlupakan. Baiklah, mari tuliskan kembali, sebagai pemanasan sebelum melakukan perjalanan jarak jauh, mudik ke Jawa Timur, ke Banyuwanyi lalu menyeberang ke Bali, atau wisata Madura, atau menyepi ke salah satu kawasan pantai di kampung halaman. Tentu saja lalu mencatatkan dan membagikannya seperti layaknya para travel blogger. Tapi ya itu, simpan dulu mimpinya. Ancang-ancangnya membuat catatan dari perjalanan tahun lalu ke TBMK.

Kareumbi ternyata berasal dari nama pohon. Nama latinnya Homalanthus populneus. Mungkin dulunya banyak ditemukan di kawasan ini. Tapi dari awal menjejakkan kaki, tak kutemukan pohon yang bertuliskan Kareumbi. Entah aku berada di jalur yang berbeda dengan area tumbuhnya, atau tanaman itu sudah tak punya habitat. Gunung Kareumbi berada di sisi barat kawasan TBMK. Sedangkan Masigit, yang diambil dari nama Pasir Masigit, berada di sisi timur. 

Pengelolaan Kawasan Konservasi

Kewenangan pengelolaan (TBMK)  melalui sejarah panjang. Periode pertama diawali dengan ditetapkannya Gunung Masigit Kareumbi sebagai Kawasan Hutan melalui Gouvernment Besluit No. 69 tanggal 26 Agustus 1921 dan Gouvernment Besluit No. 27 tanggal 27 Agustus 1927. Pada pasca kemerdekaan, kawasan hutan Gunung Masigit Kareumbi dikelola oleh Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Ada upaya reboisasi yang menambahkan beberapa jenis tanaman yakni pinus, rasamala, dan puspa, yang mencapai luas 4809,98 Ha. 

Saat Ibrahim Adjie menjadi Pangdam III Siliwangi, ada upaya pengembangan kawasan sebagai taman perburuan. Berbagai jenis rusa dikembangbiakkan, di antaranya Rusa Sambar, Rusa Timor, dan Rusa Tutul. Sebuah pintu masuk baru, dibangun, yang kemudian disebut sebagai blok KW. Pada 1966 tercatat sebanyak 25 ekor rusa yang dibiakkan dalam lahan berpagar seluas lebih kurang 4 ha. Setahun kemudian pagar tersebut dibuka dan rusa dilepaskan Penetapannya sendiri baru dilakukan pada 1976 melalui SK Menteri Pertanian No 297/Kpts/Um/5/1976 tertanggal 15 Mei 1976. Kawasan ini menjadi Hutan Wisata dengan fungsi Taman Buru.


Baca juga: Bali, Piodalan, dan Ritual Religi

Dalam perkembangan berikutnya, dibuat rencana lebih detail terkait peruntukan kawasan. Rencana baru terkait Pengelolaan Hutan Wisata Buru Gunung Masigit-Kareumbi dibuat oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Rencana yang berlaku kurun 1979 hingga 1984 tersebut meliputi pembagian 4, yakni Zona Semi Perlindungan (Wilderness Zone), Zona Rekreasi (Intensive Use Zone), Zona Perlindungan (Sanctuary Zone), dan Zona Penyangga (Buffer Zone). Pada masa ini, pengelolaan kawasan di bawah kewenangan Perum Perhutani. Pada 1986 kewenangan kembali berpindah. 

PP No. 36 tahun 1986 menyebutkan, wilayah kerja Perum Perhutani meliputi hutan negara yang berada di Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, kecuali Hutan Suaka Alam, Hutan Wisata (termasuk Taman Buru), dan Taman Nasional. Dengan penetapan tersebut, pada 27 Februari 1988 dilakukan serah terima pengelolaan Hutan Wisata Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, dari Direksi Perum Perhutani kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA).

Ada beberapa perubahan terkait zonasi kawasan. Namun yang terakhir dijadikan acuan adalah zonasi kawasan yang dirancang oleh Direktorat Jenderal PHPA pada 1992. Dalam konsep tersebut, zonasi meliputi zona pengelolaan intensif, zona penangkaran, zona peliaran dan perlindungan satwa buru, zona padang buru, zona wisata alam lainnya, dan zona desa binaan/daerah penyangga. Pada kurun ini (1990-1993) TB. Masigit Kareumbi dijadikan proyek percontohan oleh BKSDA III dengan sumber dana mencapai Rp520 juta, yang sebagian besarnya digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana. 


Baca juga: Ngadem Sejenak di Taman Soekasada

Selain pembagian zona, yang kembali mengalami perubahan adalah pengelola. Setelah dari PHPA, TB. Gunung Masigit Kareumbi kembali diserahkan kepada Perum Perhutani. Berikutnya, pada 1998 hak pengusahaan Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi diserahkan kepada PT. Prima Multijasa Sarana (PMS), untuk blok pemanfaatan dan blok buru seluas 7.560,72 ha. Sisanya, hutan pinus dengan luas 4809,98 ha  diserahkan kepada Perum Perhutani. Pada Oktober 1999, PT. PMS mendapatkan ijin melakukan pengusahaan taman buru. Namun berkasus terkait penebangan hasil hutan yang membawa pengelola ke ranah hukum. Akhirnya kawasan ini dikembalikan pengelolaannya oleh BKSDA. Sayangnya, pengalihan ini pun tak menunjukkan kelaikan pengelolaan. Banyak sarana yang terbengkalai, bangunan yang didirikan oleh pengelola maupun pemerintah mengalami kerusakan parah. Malah, ada pencurian fasilitas di bangunan rumah Ibrahim Adjie. Demikian juga dengan sarana lain seperti wisma pemburu, kompleks taman safari mini, kolam renang, rumah sakit hewan, bahkan masjid tak terhindarkan dari kerusakan. Selain itu, terjadi perambahan kawasan untuk pertanian serta pengambilan kayu untuk kebutuhan bangunan maupun untuk bakar bakar, tak terkendali. Terjadi pula perburuan liar hingga kawanan rusa tak terlihat sama sekali. 

Pada suatu masa, sesepuh Wanadri yang sering berkunjung ke kawasan TB Masigit Kareumbi, Remi Tjahari mulai menggagas untuk terlibat dalam pengelolaan kawasan. Pada 2007, secara resmi Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri menyampaikan minat tersebut kepada Kementrian Kehutanan dan BBKSDA. BBKSDA mengeluarkan surat keputusan No: 750/ BBKSDA JABAR. 1/ 2008 yang kemudian direvisi dengan SK No. 1111/BBKSDA JABAR.1/2009 yang menyebutkan bahwa BBKSDA setuju melakukan kerjasama kemitraan Optimalisasi Pengelolaan Kawasan dengan Wanadri. 

Baca juga: Umbi dan Cerita Masa Kanak


Undangan Tak Terduga

Undangan untuk menjelajahi Kareumbi datang dari seorang biarawati dari kongregasi Green Mountain yang berpusat di Amerika Serikat. Suster (Sr.) Kris namanya, yang mendapat penugasan di Bandung. Kongregasi ini secara khusus membaktikan diri untuk keberlangsungan alam. Lain waktu mungkin akan kuceritakan sisi menarik dari salah satu kongregasi Katolik ini.

Aku hanya diminta untuk bertemu di sebuah alamat, sebelum berangkat bersama Kareumbi. Setelah tiba di lokasi, sebuah rumah yang asri, dipenuhi tanaman, segar di udara dan penglihatan barulah aku tahu dengan siapa kami akan berangkat. Irawan Marhadi, salah seorang senior Wanadri. Kami berangkat berempat, bersama Ibu Irawan.

Setidaknya ada tiga rute perjalanan dari Bandung menuju TBMK, yakni:

Bandung - Sumedang – Cipancar - TMBK. Jarak lebih kurang 49 km.

Bandung – Limbangan – Cibugel - TMBK. Jarak lebih kuran 70 km.

Bandung – Cicalengka – Sindangwangi - TMBK. Jarak lebih kurang 46 km.

Kami mengambil jalur melalui Cicalengka. Banyak jalur yang tak mudah, baik dari sisi kontur maupun kelaikan permukaannya. Meski mempersiapkan kendaraan yang tepat.

Secara administratif, TBMK kawasan ini masuk Kabupaten Sumedang, Garut, dan Bandung. Paling besarnya masuk wilayah Kabupaten Sumedang. 

Baca juga: Menjelajahi Taman Hutan Raya Juanda

Suasana sepi, saat kami tiba di lokasi. Januari 2021, masih dalam kondisi pandemi. TMBK tidak dibuka untuk umum. Sekelompok anak muda tampak bergerombol di area pintu masuk kawasan. Kubayangkan mereka sekadar mencari hiburan, di sela kejenuhan 'harus di rumah saja.' Biarpun warga sekitar, mereka tak diperkenankan memasuki area. Hanya dari kalangan tertentu, seperti dari pihak pengelola, yang bisa memasuki area taman buru ini. Aku belum cek lagi, apakah hari-hari ini TMBK sudah kembali menerima kunjungan.

Obyek Wisata di TMBK

Selayaknya hutan, ada aneka flora dan fauna yang bisa kita jumpai di TMBK. Pepohonannya antara lain Pasang, Saninten, Puspa, dan Rasamala. Beberapa jenis tumbuhan liana dan epifit bisa kita temukan dengan mudah. Selain itu, tanaman Pinus, Bambu, dan Kuren memenuhi kawasan-kawasan tertentu.

Di antara pepohonan dan tanaman itu, tercatat ada Babi hutan, Rusa Tutul, Kijang, Anjing hutan, Macan tutul, Kucing hutan, Ayam hutan, Kukang, Bultok, Kera, Lutung, dan Burung Walik. Melihat dalam catatan saja, karena selama di lokasi aku tak menemukan satu pun dari binatang-binatang tersebut. Yang kujumpai hanya dua anjing penjaga di pos utama. Anjing-anjing yang kekurangan makanan 😓 Kalau berkunjung ke sini, titip makanan buat mereka ya..


Baca juga: Sebuah Perjalanan ke Serang, Banten

TMBK menjadi kawasan penting sebagai menara air bagi Jawa Barat. Ada dua daerah aliran sungai (DAS) terbesar, yaitu sungai Cimanuk dan sungai Citarum. Beberapa sumber lair lain berupa sungai lain yang mengaliri kawasan TMBK, antara lain Sungai Cigunung, Ciantap, Cihanjawar, Citarik, Cihideung, Cianten, Cileunca, Cihanyap, Cibayandi, dan Sungai Cimacan. Ada perairan di area pegunungan, sudah pasti ada curug dong?! Ada Curug Cigorobog dan Curug Sindulang yang bisa kita kunjungi. Sayangnya saat itu tak memungkinkan untuk kami melihat curug dari dekat. Dibutuhkan waktu yang lebih lama. Barangkali dengan sekalian berkemah, karena, ya, ada bumi perkemahan di TMBK. 

Bumi perkemahan yang disediakan di TMBK, terlihat tak terawat. Tak ada kunjungan dalam kurun berbulan-bulan, dan sepertinya tak ada cukup inisiatif dari para petugas lapangan untuk merawat fasilitas. Hal ini juga dapat kulihat di pondok-pondok yang biasanya dijadikan tempat menginap sekaligus area ber-acara. Meja-meja berdebu. Kain-kain penutup tampak kucel. Padahal TMBK memiliki banyak potensi. Bukan sekadar berwisata namun juga belajar kepada dan tentang alam. 

Semoga dalam waktu dekat, seiring dengan penanganan pandemi yang lebih baik, kawasan wisata terutama yang berfungsi sebagai pelindung kembali dibuka untuk umum. Selain untuk melengkapi kawasan yang dijadikan obyek pembelajaran dan kampanye lingkungan, juga kebutuhan pemasukan bagi biaya operasional sehari-hari. 

Baca juga: Alaya, Kisah Pejalanan ke Negeri Atap Dunia


Tunggu! Bagaimana soal Taman Buru?

Terus terang nama ini bikin merinding. Jangan paksa aku membayangkan rusa-rusa yang lucu dengan mata lebar seperti di film kartun itu menjadi obyek perburuan. Dikejar dan dibunuh. Kusimpan saja ketaknyamanan bayangan itu dalam hati. Hingga satu kesempatan kutanyakan ke Pak Irawan.

Memang, kawasan ini diagendakan untuk menjadi taman buru. Yang mau berburu dialihkan ke sini. Bukan berburu di kawasan lain yang dijadikan hutan konservasi. Kapan perburuan itu bisa dilakukan? Ketika rusa sudah overpopulasi. Sampai dengan hari ini, jumlah rusa belum memenuhi syarat untuk diburu. 

Demikian lebih kurang jawaban Pak Irawan. Sejenak membuat lega. Sambil berharap tentunya, rusa-rusa cantik itu tetap dapat hidup bebas tanpa diburu. Dan manusia-manusia tak kelebihan energi sampai harus menyalurkannya dengan melakukan perburuan satwa liar. Biarlah mereka cukup dilihat keindahannya dan menjadi sumber pembelajaran saja. 

8 comments

  1. Menjadi kewajiban masyarakat bisa melestarikan lingkungan. Artikel ini enak dibaca dan lestari alamnya.

    ReplyDelete
  2. Kudu jalan puluhan km?
    hehehe semula saya pingin ke sini karena rumah saya sekarang masuk kabupaten Sumedang
    tapi urung baca jaraknya yang jauh pisan

    ReplyDelete
  3. cakep banget yaaa TBMK ini, buat jalan2 gitu seruu. sayang yaa nggak kepake lg yg tempat pondok2nya itu, pdhl malah gemes bgt lho. tp areanya sama tempat berburu mayan jauh ya harusnya?

    nah kalau untuk berburu gt bakal diinfo sama petugas kali yaa kalau udah overpopulasi? jujur aku baru tahu kalau di Indonesia ada hutan yg buat berburu gini

    ReplyDelete
  4. Tempatnya bagus banget sih, sayang pendemi bikin tempatnya sepi ya kak? Hewan-hewannya pun jadi kurang terawat. Hal seperti bisa disuarakan lebih banyak kak, agar mendapat respon dari pecinta satwa dan pemerintah juga, semangat kak!

    ReplyDelete
  5. Terakhir saya ke Kareumbi waktu suami ada acara bareng Wanadri juga. Sebelum pandemi. Saya ikut itung-itung pemanasan sebelum naik kerinci. Iya nih belum ada kabar ya apakah Kareumbi sekarang udah dibuka untuk umum lagi? Kalau gede pangrango mah udah lama...

    ReplyDelete
  6. Ternyata sebuah gunung itu ada yang mengelola ya..
    Aku kalau inget Perhutani, jadi inget madu Perhutani yang terkenal di Bandung. Dan hasil hutan ini bisa dimanfaatkan untuk kebaikan manusia.

    ReplyDelete
  7. Membaca tulisan dan melihat foto di sini aku merasakan sepinya di hutan tersebut kak, apalagi melihat foto si anjing penjaga pos, ahhh seketika aku ikut terenyuh. Semoga di sini ke depannya mendapat rehabilitasi dan pengelolaan yang baik

    ReplyDelete
  8. Aku agak kaget ada macan tutul tapi ternyata itu dalam data gak langsung ditemui hehe

    Siap mbak, akan jadi catetan nih bahwa anking-anjing penjaga itu perlu dibawakan sesuatu kalo kita mengunjungi masigit kareumbi

    ReplyDelete