The Most Precious of Cargoes, Kisah Muram Penyintas Holocaust

Saat berselancar di dunia maya, tak sengaja berjumpa dengan ini film. Awalnya agak ragu. Sedang butuh hiburan, tapi dari poster filmnya tampak muram. Tetap, dilanjutkan menonton dan aku tidak menyesal. Film ini rilis dalam bahasa Perancis, La Plus Précieuse des Marchandises. Atau dalam versi Inggrisnya, The Most Precious of Cargoes. Film yang dirilis pada 2024 lalu ini digarap oleh sutradara peraih Oscar, Michel Hazanavicius.



Baca juga: Black Book, Kisah Perjuangan Perempuan Yahudi

Filmnya memang muram. Apalagi latarnya adalah kemiskinan, konflik ras, dengan nuansa yang didominasi warna putih abu salju. Namun, ada nilai kebaikan universal yang ditawarkan film ini. 


Sinopsis

Kisah bermula pada sebuah hari yang gelap bersalju. Seorang perempuan, istri penebang kayu yang sedang mencari makanan di hutan sekitar rumahnya mendengar tangisan bayi. Tak jauh dari rel kereta api, dilihatnya sebuah bungkusan yang ternyata berisi bayi perempuan. Istri penebang kayu tak menimbang lama untuk membawa bayi itu pulang. Tak mungkin ia membiarkan makhluk mungil itu beku di luaran. Di sisi lain, ia meyakini bayi itu adalah kiriman dari Tuhan setelah sekian lama ia hanya hidup berdua dengan sang suami tanpa hadirnya seorang anak.

Kebingungan mulai menyergapnya begitu ia sampai rumah. Ia harus kasih makan apa itu bayi? Dalam kemiskinannya, tak mungkin ia belanja susu untuk bayi tersebut. Tak kehilangan akal, perempuan itu mendatangi tetangganya yang memelihara domba. Ia mengajukan penukaran, ranting kayu dengan susu. Sang tetangga yang ditampilkan sebagai sosok yang sangar, ternyata memiliki kebaikan hati. Ia bersedia menyediakan susu buat si bayi.

Masalah berikutnya adalah saat sang suami mengetahui sosok bayi itu. Di pikirannya hanya ada satu: tidak mungkin! Karena menerima keberadaan bayi itu di rumah mereka artinya mencari masalah.


Baca juga: Pangku, Cermin Getir Perempuan di Pesisir Jawa


Film ini mengambil latar Perang Dunia II, pasca peristiwa Holocaust. Pasangan miskin, penebang kayu dan istrinya ini tinggal di pedalaman hutan Polandia. 

Siapa sebenarnya bayi itu? Yup, bisa ditebak. Ia adalah anak penyintas Holocaust. Bayi itu adalah salah satu anak dari anak kembar pasangan yang sedang dalam perjalanan menuju Auschwitz. Suasana menegangkan, saat ribuan orang membutuhkan suaka dan di tengah ketidakpastian, pasangan Yahudi ini kewalahan dengan keluarga kecil mereka. Begitu si suami mendapati istrinya tak cukup memiliki ASI untuk kedua anak kembarnya, ia memutuskan untuk membuang salah satunya. Tampaknya lemparan itu cukup aman hingga si bayi ditemukan dalam keadaan baik-baik saja. 

Namun, ya itu ... masalah bapak penebang pohon menolak keras bayi itu ada di rumah mereka. Butuh waktu lama untuk meluluhkan laki-laki itu. Awalnya ia menolak keras. Akhirnya ia menyerah saat istrinya mengancam akan pergi jika ia harus kembali membuang itu bayi. Penerimaan pun bersyarat, ia tak mau tahu dengan keberadaan bayi tersebut. Berkat ketelatenan sang istri, dan secara alamiah sesungguhnya ada kebaikan tersembunyi di hatinya, diam-diam laki-laki itu tumbuh sayang kepada gadis kecil Yahudi tersebut. Ia bahkan menerima dengan tangan terbuka, menganggap gadis kecil itu sebagai buah hatinya.

Penerimaan itu harus dibayar mahal. Dalam sebuah perbincangan dengan sesama penebang, keluarlah pernyataan si bapak. Sesuatu yang terhubung dengan keberadaan seorang asing. Seorang yang terlarang. Tak lama berselang pecahlah pertikaian. Lelaki penebang kayu itu terbunuh setelah ia terlebih dulu mencederai mereka yang mengacau rumahnya. Lelaki pemilik peternakan juga ikut terbunuh dalam rangkaian peristiwa itu. 

Sang istri penebang segera mengambil keputusan cepat. Ia bawa gadis kecil itu menjauh dari hutan, memulai kehidupan baru. Hidup berpihak kepada mereka. Kelak bapak dari bayi buangan itu berhasil dipertemukan dengan anaknya, meski hanya melihat dari jauh.


Baca juga: The Fighter, Film tentang Keluarga dan Pengorbanan


Potret Muram Jejak Holocaust

Memang ada film yang bersinggungan dengan Holocaust tampil dalam nuansa ceria? Hmmm ... rasanya sih belum pernah nonton. Yang sudah tertonton semuanya dalam nuansa muram. Begitu pula The Most Precious of Cargoes yang adalah film animasi ini. 

Film ini merupakan hasil adaptasi dari novel karya Jean-Claude Grumberg yang juga dilibatkan dalam penulisan naskah. Gumberg menerbitkannya pada 2019, dan filmnya baru rilis 5 tahun kemudian. Sebetulnya Hazanavicius mendapatkan proyek ini pada tahun yang sama dengan kemunculan novelnya. Sayangnya proses tidak dilanjutkan karena pandemi COVID-19, dan baru dilanjutkan kembali tiga tahun kemudian.

Ada beberapa fakta menarik terkait film ini.

Hazanavicius adalah bagian dari keluarga penyintas. Pada masanya, keluarganya melarikan diri dari Nazi di Eropa Timur. Awalnya ia enggan mengerjakan proyek tersebut. Namun, akhirnya kisah yang ditulis oleh seorang teman lama keluarga itu berhasil menyentuh perasaannya. Terlebih ia menyadari kondisi kesehatan para penyintas tersisa kemungkinannya sudah tak baik-baik saja. Ia pun tertantang untuk menggarap film animasi, jenis film yang belum pernah ia tangani.

Fakta lainnya adalah bahwa narator dalam film ini, Jean-Louis Trintignant meninggal dunia tak lama setelah suaranya direkam. Ia tak pernah menikmati hasil akhir karyanya tersebut. 

Baca juga: Unforgiven, Film Clint Eastwood yang Panen Penghargaan

Sebelum dimulai penggarapan film, telah dimulai publikasinya yang di antaranya menyebutkan pengisi suara Penebang Kayu adalah Gérard Depardieu. Saat akhirnya dimulai prosesnya,   Depardieu dikeluarkan dari daftar pemeran karena pada saat itu namanya sedang muncul sebagai tertuduh kasus pemerkosaan dan penyerangan seksual. Posisinya digantikan oleh Grégory Gadebois.

The Most Precious of Cargoes dirilis di Prancis pada 20 November 2024, terpilih untuk berkompetisi memperebutkan Palme d'Or di Festival Film Cannes ke-77 pada 24 Mei 2024. Momentum ini sekaligus menjadi waktu tayang perdana film ini; film animasi pertama yang ditayangkan dalam kompetisi utama di Cannes sejak Waltz with Bashir karya Ari Folman pada 2008.

Meski muram, film ini layak tonton. Terutama bagi penggemar film-film animasi dan film dengan latar sejarah dunia. Sepertinya buat tontonan ke depan masih akan cari film animasi. Buat penggemar film Korea, maafkan, sangat jarang nonton. Kalau butuh rekomendasi, cek sini: Spoiler Ending dan ulasan film Korea.

Sampai ketemu di film berikutnya.


Baca juga: Film Mafia yang Layak Tonton di Malam Minggu

No comments