Perawatan Diri sebagai Bagian dari Laku Hidup Berkesadaran dalam Keseharian

Di masa kini, kita seolah dijebak dalam kehidupan yang seolah perlombaan, kompetisi. Berkejaran, berebut menjadi yang terdahulu atau menjadi pemenang. Aneka kisah dan gambar bergerak berebut meminta perhatian kita. Kita lantas menghabiskan waktu berjam-jam untuk scrolling medsos. Lupa waktu, lupa perhatian akan dunia sekitar. Kondisi tanpa kesadaran ini dapat membawa kita pada mental yang tidak sehat. Bicara soal kesadaran tak lantas menjadikan kita sebagai pertapa, atau orang tanpa dosa. Bahkan latihannya pun bisa hal-hal yang sederhana, misalnya dengan perawatan diri yang berkesadaran.

Baca juga: Olah Napas untuk Kesehatan Mental dan Hidup yang Berkesadaran

Aku bukan jenis perempuan yang gemar berdandan. Merawat diri pun secukupnya saja. Belakangan, setelah memilih untuk melakoni hidup yang lebih berkesadaran, berusaha untuk lebih peduli dengan badan sendiri. Melakukan perawatan diri dengan lebih primpen dan menjadikannya rutin. Ketika dinikmati, hal-hal yang rutin itu ternyata oke juga, ya ....


Melakoni Hidup yang Berkesadaran

Saat ini banyak sekali kelas pembelajaran dengan tema hidup berkesadaran. Dari mulai kelas gratis hingga yang premium alisan berbayar mahal. Tak lain adalah karena keinginan, kemauan, kebutuhan--atau apa pun istilahnya--akan hidup yang lebih damai. Padahal sesungguhnya hidup berkesadaran bukanlah sesuatu yang mewah dan sulit terjangkau. Intinya, hidup berkesadaran adalah hidup di masa kini, masa sekarang dengan menyadari setiap detailnya. 

Dalam keseharian, hidup berkesadaran adalah sesederhana kita tahu tujuan kita melangkah, jalan mana yang kita pilih, apa saja yang akan kita lakukan. Namun, dalam praktiknya tak semudah itu. Makanya dibutuhkan latihan untuk bisa menjadikan hidup berkesadaran sebuah kebiasaan. 

Berbagai sumber menyebutkan bahwa hidup berkesadaran memberikan manfaat bagi banyak hal, yakni:

Kesehatan mental

Dengan menjalani hidup berkesadaran, kita dapat menjalani aktivitas dengan lebih lambat. Tak berkejaran. Dengan begitu kita bisa membendung stres. Kita juga dimampukan untuk berpikir lebih jernih. Tidak menghadapi segala persoalan secara emosional, tapi berfokus pada solusi. Pada akhirnya kebiasaan baik itu dapat meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan.

Kesehatan fisik

Kondisi mental sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik. Stres berlebihan dapat memunculkan psikosomatis. Dengan kondisi mental yang lebih sehat, kualitas hidup pun akan membaik; tidur lebih nyenyak, emosi lebih terkontrol, tidak melakukan pelarian-pelarian yang makin memperburuk keadaan. 

Produktivitas

Dengan mental dan fisik yang sehat, kita bisa menjalani segala rencana kita dengan lebih fokus. Dengan begitu kita dapat meningkatkan produktivitas;  dalam hal ini baik terkait dengan pekerjaan, hobi, dan kehidupan keseharian lainnya. Meningkatkan kualitas hidup secara menyeluruh.

Bersikap lebih bijak

Dengan pola yang slow living, kita terbantu untuk lebih bijak saat mengambil keputusan. Ambil jeda sebelum membuat keputusan. Menimbang dampak apabila keputusan dibuat, jika kalimat-kalimat diucapkan. Jangan sampai menjadi keputusan yang tidak tepat atau kalimat yang menyakiti. Dengan hidup berkesadaran, kita dibantu untuk lebih beradaptasi dengan berbagai perubahan yang kita jumpai dalam kehidupan dan mampu menerima kondisi yang tak sesuai rencana atau ekspektasi dengan lebih baik.

Meningkatkan kualitas hubungan

Dengan latihan yang tepat dan berkelanjutan, hidup berkesadaran memunculkan rasa welas asih. Tentu saja hal ini akan membantu kita menjaga dan memperbaiki hubungan kita, hubungan apa pun. 

Baca juga: Jeda dan Meditasi Bantu Redakan Pikiran yang Riuh


Hidup Berkesadaran dalam Praktik Sehari-hari

Hidup berkesadaran adalah hidup di masa sekarang; di sini dan saat ini. Dan kunci dari hidup di saat ini adalah menyadari napas. 

Pada umumnya orang mengenal meditasi sebagai cara menyadari napas. Ambil sikap duduk yang nyaman, bisa ditemani dengan lilin aroma terapi atau dupa, lalu meditasi pun dimulai hingga waktu yang dibutuhkan. Namun sesungguhnya meditasi tak melulu duduk diam. Kita mengenal juga yang namanya meditasi gerak. Bukan gerakan tertentu yang khas melainkan melakukan aktivitas biasa, tapi dilakukan dengan tetap menyadari napas. 

Nah, selain merawat mental, merawat tubuh juga penting dilakukan dengan kesadaran. Jika kamu telah memiliki kebiasaan menjaga tubuh dengan baik, itu sudah bagus banget. Yang perlu dilakukan sekarang adalah diniatkan melakukannya dengan sepenuh hari. Menikmati setiap detailnya. Setiap gerakan dikhidmati, bukan dilakukan berbarengan dengan aktivitas lainnya.

Menjaga kesehatan tubuh dengan sepenuh kesadaran secara umum adalah dengan menjaga kebiasaan makan makanan bergizi, olahraga teratur, tidur cukup, dan mengelola stres. 

Secara lebih detail, berikut beberapa contoh.

Makan yang berkesadaran

  • Pilihlah makanan yang memberikan manfaat bagi tubuh. Kurangi karbohidrat, jauhi gula.
  • Ucapkan terima kasih kepada makanan dan semua pihak serta komponen yang terlibat dalam proses hingga bahan makanan dapat tersaji di atas meja.
  • Makanlah dengan tenang dan khidmat.

Berolah raga yang berkesadaran

  • Pilih olahraga yang sesuai kebutuhan badan.
  • Lakukan kegiatan olahraga dengan secukupnya saja, tidak berlebihan.
  • Lakukan setiap gerakan dengan napas yang teratur dan disadari. 

Perawatan tubuh dan wajah

  • Mandi dengan teratur, paling tidak sekali dalam satu hari.
  • Lakukan gerakan mandi dengan tidak tergesa, sambil mensyukuri tubuh sehat yang kita miliki dan telah melakukan tugasnya dengan sempurna.
  • Rawatlah wajah dengan sepenuh kesadaran, jika perlu dibarengi afirmasi untuk menjaga otak tetap sadar sehingga pikiran tidak meloncat-loncat.

Di lain waktu akan kubagikan tips memijat wajah pada titik-titik akupunktur yang bermanfaat bagi kecantikan dan kesehatan. Lain waktu, ya, saat ini aku masih belajar di kelas akupunktur. Untuk aneka tips kecantikan bisa coba cek catatan kawan-kawan beauty blogger seperti blognya beauty blogger Balikpapapan ini. 

Begitu pula untuk aktivitas lain, bisa dibuat detail serupa. Baik untuk kegiatan reguler maupun yang terhitung baru dan dilakukan nonrutin. Intinya adalah berkegiatan dengan betul-betul menyadari apa yang sedang dikerjakan. Sesungguhnya ini tugas yang cukup berat buatku. Aku yang terbiasa multitasking benar-benar diseret untuk melambat saat belajar lebih berkesadaran. Karena bertahun-tahun dengan kebiasaan multitasking, terasa betul ada proses mengingat yang terganggu. Demi hidup yang lebih sehat dan selaras, berusaha untuk melakoninya pelan-pelan.

Masalah akan selalu ada. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Dengan hidup berkesadaran, kita dimampukan untuk memilah dan memilih mana yang bisa kita pikirkan dan bereskan karena berada di bawah kendali kita, dan tak perlu risau dengan hal-hal di luar kendali kita. 

Kamu mau belajar hidup yang lebih berkesadaran juga? Yuk, belajar bersama. Karena semakin banyak orang yang memilih untuk menerapkan hidup berkesadaran, energi yang bergerak bersama-sama akan saling beresonansi menciptakan harmoni. Bersama-sama pula kita bisa hidup berdampingan tanpa dibarengi rasa cemas, takut, dan khawatir. Tenang, damai, dan bahagia. 

Baca juga: Pulihkan Trauma dan Ciptakan Hidup Sehat Selaras dengan Terapi BCR


Radio Siaran di Masa Kini, Talk Show, dan Podcast

Beberapa hari lalu diundang kawan untuk menjadi host di sebuah podcast. Weeeiitts, terhitung sudah hampir 5 tahun aku tidak memandu sebuah talk show. Jadi, diterima atau ditolak? Tentu saja diterima. Sebagai pekerja lepas aka freelancer kudu siap kapan pun datang job, meski belum ngeuh perbedaan talk show radio dan podcast. Pasca show--dalam evaluasi--baru terjelaskan bahwa ada perbedaan antara talk show radio dan podcast. Nah, lo, apa bedanya?

Baca juga: Perjalanan Menulis Fragmen 9 Perempuan

Menyenangkan bisa kembali beraktivitas di wilayah yang dulu pernah sangat akrab. Paling ya perlu upgrade diri di tengah kencangnya perkembangan teknologi. Bagi generasi X, segala hal yang berbau teknologi ini pasti menjadi tantangan tersendiri. Bahkan buatku yang lebih dari 20 tahun berjibaku di dunia radio, berhadapan kembali dengan mikrofon saja sudah bikin keder, haha!


Kilas Balik Menjadi Pekerja Radio

Bagi yang sudah cukup lama mengenalku, sebagiannya sudah tahu bahwa aku orang radio. Istilah "orang radio" ini sering dipakai oleh mereka yang lama berkutat di dunia radio. Aku tak melakukan survei secara khusus, tapi pada banyak sekali perbincangan, pengakuan serupa datang dari kalangan "jebolan" radio siaran ini. Bahwa mereka adalah orang radio meskipun faktanya sudah tidak bekerja dan melakukan aktivitas terkait penyiaran.

Jika menyebut masa keemasan, tentu acuannya adalah masa kemunculan radio sebagai media massa. Dari awal kemunculannya, pada 1930-an hingga satu dekade berikutnya terjadi perkembangan pesat radio siaran. Sejumlah stasiun radio berdiri, di antaranya organisasi besar seperti NBC dan CBS. Begitu pun kepemilikan perangkat radio dalam berbagai bentuknya. 

Berbagai program dikemas begitu rupa sehingga menarik minat pendengarnya. Selain program berita, ada banyak program hiburan yang menyajikan drama, musik, dan program varietas. Bintang-bintang bermunculan dari aneka program yang dikembangkan. Di bidang pemberitaan, radio berperan penting dalam menyebarluaskan informasi, terutama pada masa sulit seperti Depresi Besar dan Perang Dunia II.  

Baca juga:

Aku nyemplung di dunia radio siaran jelang akhir 90-an. Meski "zaman keemasan" radio dianggap telah berakhir pada tahun 1950-an sebagai dampak hadirnya media massa lainnya, televisi, namun aku masih mengalami "saktinya" peran radio. Betapa media ini berhasil menjembatani berbagai kepentingan masyarakat dan pemerintah serta pihak lainnya. Itu di radio aku kerja, Radio Mara. Begitu pula radio-radio lain, bahkan meski lebih kental dengan program hiburan, tetap saja memberikan kontribusinya bagi masyarakat luas. 

Sementara bagi pekerja radionya sendiri, ada banyak kegiatan sampingan yang bisa menghasilkan pundi-pundi tersendiri. Mulai dari menjadi MC, host atau moderator acara perbincangan, pengisi suara. Yang banyak berkelindan dengan urusan klien periklanan, kesempatan untuk menjadi Event Organizer (EO) terbuka lebar. 

Ketika iklim usaha di bidang penyiaran makin tak bersahabat, satu per satu bertumbangan. Kondisi yang tentunya berdampak kepada para kru. Putus hubungan kerja bagi yang tercatat sebagai karyawan dan pemberhentian kerja sama bagi para pekerja paruh waktu. Ini terjadi bukan hanya Bandung, tapi di semua kawasan di tanah air. Demikian pula yang terjadi padaku.

Sebetulnya sudah cukup lama aku tak bekerja sebagai staf organik di perusahaan radio. Terakhir di Radio Mara (1996-2006). Setelahnya, aktivitas di radio kulakukan sebagai pekerja paruh waktu. Dalam kurun waktu itu, aku sebagai penyiar radio paruh waktu dan menjadi freelancer aneka pekerjaan terutama terkait penulisan. Hingga aktivitas "mengudara" sama sekali terhenti pada masa pandemi COVID-19. Pekerjaan "bersuara" yang masih kulakukan adalah sebagai MC dan pengisi suara. Nah, kesempatan menjadi host kembali itu baru datang pada pekan lalu. Bedanya, kali ini menjadi host program podcast.`

Baca juga: Let It Be dan Peristiwa Kebetulan


Perbedaan Talk Show Radio dan Podcast

"Ibu tadi pengantarnya 'news anchor' banget," kata pemimpin project mengevaluasi.

"Untuk podcast bisa lebih santai," sambungnya.

Ah, ya ya... memang ajuan kerjaan ini terbilang mendadak. Tidak cukup briefing, bahkan aku tak sempat melihat contoh kegiatan yang sudah mereka langsungkan. Pada kali kedua, suasananya sudah bisa lebih cair.

Jadi, apa sih bedanya menjadi host dalam program talk show radio dan podcast? Kita kenali masing-masing karakteristiknya, ya. Ini kukumpulkan dari berbagai referensi di internet. Karena dari sisi keilmuan--sebagai generasi old school--aku tak mempelajari podcast.

Penyiaran (proses penayangan)

Talk show radio pada umumnya disiarkan secara langsung (live) baik sebagai program reguler maupun program khusus. Dengan jadwal yang ajek, pendengar akan standby di channel yang dipilih. Pendengar juga dapat berinteraksi secara langsung baik melalui teks maupun lisan, karena program berlangsung real-time.

Podcast pada umumnya dibuat dalam bentuk rekaman, dan ditayangkan kapan saja. Begitu pula pendengarnya bisa memilih tayangan yang mana saja sesuai kebutuhan dan waktu yang sesuai. 

Baca juga: Menjadi Penulis, Hobi atau Pekerjaan?

Durasi tayang

Talk show radio memiliki durasi tayang yang ketat. Karena disiarkan secara live, host harus memastikan kapan jeda dan kapan kembali "on". Ada iklan dan komponen siaran lain yang wajib putar. Karenanya perencanaan pembagian waktu dilakukan sebelum program dimulai sehingga tidak keteteran di tengah jalan.

Podcast, memiliki kelonggaran untuk waktu tayang. Pemilik konten dapat membuat durasi yang berbeda-beda untuk tiap kontennya. Kalaupun ada iklan, mereka juga dengan mudah dapat menyelipkannya di antara waktu tayang.

Proses produksi

Talk show radio tidak melalui proses produksi karena dilakukan secara live. Memang, ada juga talk show yang dilakukan terekam, namun tetap mematuhi kaidah siaran langsung. Biasanya tidak ada proses editing sehingga meminimalisasi kemungkinan melakukan kesalahan. 

Podcast merupakan produk rekaman. Hal ini memungkinkan dilakukannya proses editing, baik untuk menghilangkan kesalahan maupun memberikan efek suara tertentu. 

Jangkauan penayangan

Talk show radio menjangkau wilayah seluas jangkauan gelombang. Frekuensi FM dan AM memiliki jangkauan yang berbeda. Secara regulasi, FM hanya menjangkau lingkup satu kota, misalnya. 

Podcast--karena disebarkan melalui internet--menjangkau wilayah yang jauh lebih luas. Bahkan mendunia. 

Baca juga: Menerbitkan Buku Antologi secara Mandiri

Itu dia beberapa hal yang kupelajari, hal baru dari yang namanya podcast. Sepertinya perlu dipikirkan serius untuk membuat podcast sendiri, ya? Barangkali awalnya untuk belajar, mengasah pengetahuan baru. Perkara kemudian akan ada monetisasi, itu hal lain.

Kamu sendiri punya side job apa, kawan? Atau kerja-kerja kreatif justru menjadi pekerjaan utamamu? Share pengalaman, ya, siapa tahu aku bisa belajar. Aku juga cek-cek blognya Mbak Imawati Annisa  yang sering berbagi soal remote worker.

So, kalau kalian punya garapan yang membutuhkan host, pengisi suara, atau penulis, kontak aku, ya. Di sini: WA Dhenok Hastuti. 






Info Obat Kebun, Mahkota Dewa, dan Buah Simalakama

Musik pengantar mengalun mengawali program yang disiarkan seminggu sekali. Lagunya disuarakan oleh Waljinah, Suwe Ora Jamu. Nama programnya Info Obat Kebun, disiarkan di Radio Mara 106,85 (sekarang 106,7) FM Bandung setiap Sabtu, pukul 12.00-13.00 WIB. Tak lama berselang, suara perempuan bertimbre berat muncul. Ibu Aty Kusmiaty, pengasuh Info Obat Kebun yang sesungguhnya tercatat sebagai staf RRI Kota Bandung.



Baca juga: Pohon Sala atau Burahol?

Mengapa kita nggak bikin aja buku "Obat Kebun bersama Ibu Aty Kusmiaty"? Begitu kami pernah berwacana ketika itu. Sebagai sebuah ide bisnis, cukup menarik, mengingat sudah jelas siapa pembacanya. Sudah ada segmen sasaran. Sayangnya sebelum terealisasi, kru bubar, Bu Aty berpulang. Di kemudian hari, yang ramai justru bisnis obat herbal berbahan mahkota dewa yang pernah jadi bahasan favorit dalam program tersebut.


Mahkota Dewa, si Buah Simalakama

Berapa banyak di antara kalian yang iseng mencari tahu apa itu buah simalakama? Nama yang kita kenal sejak duduk di bangku sekolah dasar, dalam pelajaran Bahasa Indonesia. "Seperti makan buah simalakama", begitu bunyi peribahasa yang ada di dalam teks. 

Yakin, deh, tak banyak yang berusaha mencari tahu. Apalagi di masa lalu. Hanya memastikan mengetahui saja makna dari peribahasa tersebut--yang menggambarkan sebuah kondisi yang serba salah, ketika kita dihadapkan pada pilihan yang sama-sama rumit dan tidak menyenangkan--dianggap sudah cukup.  

Menurut sejumlah referensi dan blog bisnis, istilah "simalakama" berasal dari bahasa Melayu. Kata ini merujuk pada "mala" yang artinya bencana dan "karma" sebagai nasib buruk (padahal itu bukan pengertian yang tepat, ya!). Demikian buah simalakama ini kemudian dijadikan simbol nasib sulit, yang dimasukkan ke dalam peribahasa. 

Lalu kenapa mahkota dewa punya nama lain simalakama?

Mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa. Tanaman ini diketahui berasal dari kawasan timur Indonesia, yakni daerah Papua dan Maluku. Istilah simalakama ditempelkan ke tanaman karena si buah memiliki dua mata pisau, bermanfaat sekaligus berbahaya. Tentu saja berbahaya jika tak tahu cara pengolahannya. Jika diolah dengan tepat, buah ini memiliki manfaat kesehatan yang cukup beragam, mulai dari meningkatkan daya tahan tubuh, memperlambat proses penuaan, mengurangi kadar glukosa dalam darah, hingga melawan kanker. Sementara jika salah, si biji yang beracun dapat menyebabkan sariawan, mabuk, bahkan kejang. 

Tanaman mahkota dewa memiliki tinggi standar tanaman perdu, yakni setinggi 1 hingga 2,5 meter. Batangnya bulat, berkayu sekaligus bergetah, dengan permukaan yang kasar. Saat berbunga, mahkota dewa menyebarkan aroma wangi. Bunganya berbentuk tabung kecil dengan warna putih. Pohon ini berbunga dan berbuah sepanjang tahun.

Baca juga: Permakultur dan Kunjungan ke Kebun Igirmranak


Mahkota Dewa sebagai Komoditas

Pada masanya, aku ingat betul ada beberapa orang (pendengar) yang menyatakan tertarik untuk menjadi sponsor jika Bu Aty berminat untuk mengolah mahkota dewa sebagai produk. Sayangnya almarhumah memang tidak tertarik untuk berbisnis.

Aku mau kutipkan cerita sukses yang dituliskan oleh tim portal berita Detik.

Media ini mengangkat cerita Ning Harmanto yang telah sukses mengembangkan ekstrak buah mahkota dewa menjadi aneka produk herbal. Ning lahir dan tumbuh besar di lingkungan tradisional di Yogyakarta yang memang telah akrab dengan pengolahan tanaman untuk kebutuhan pengobatan. Yang uniknya, awalnya Ning mengembangkan pengolahan buah mahkota dewa untuk membantu kesembuhan ibunya. Bukan untuk tujuan komersial. Kala itu sang ibu tengah menderita komplikasi penyakit. Dokter telah memberikan vonis bahwa usia sang ibu hanya akan ada dalam hitungan hari. Setelah mengonsumsi jamu yang disiapkan Ning, kondisi kesehatan sang ibu berangsur membaik. Ia bertahan hidup selama 3 tahun sebelum akhirnya berpulang pada usia 80 tahun. 

Dalam prosesnya, Ning tidak mengolah jamu sendiri,. Ia mengajak serta para tetangga sekitar rumah (di kawasan Rawa Badak, Jakarta Utara). Sebagai sebuah upaya yang lebih serius dan berkelanjutan, Ning mendirikan perkumpulan yang dinamainya Kelompok Wanita Tani Bunga Lili. Kelompok ini secara bersama-sama melakukan pengolahan mahkota dewa mulai dari menanam, meracik, hingga mengemas hasil racikan. 

Dalam perkembangan berikutnya, kelompok ini menghadapi persoalan keterbatasan lahan. Tak kehilangan akal, kelompok ini mengembangkan pola tanam vertikultur. Kelompok petani kota initerus mengembangkan inovasinya dengan melakukan penelitian khasiat lain buah mahkota dewa serta aneka kombinasi ramuan dengan bahan tanaman obat. 

Pelan tapi pasti upaya kelompok ini berubah menjadi sesuatu yang lebih serius. Diawali dengan menjadi jawara pada lomba pekarangan produktif yang digelar oleh Pemerintah DKI Jakarta (1999), lalu pendirian  Klinik Mahkota Dewa atau Klinik Herbal Ny. Ning Harmanto (sekarang Griya Sehat Mahkota Dewa, 2002), dan semakin serius dengan didirikannya PT Mahkota Dewa Indonesia yang menunjukkan upaya mereka telah merambah wilayah komersial.

Usaha yang didirikan Ning makin berkembang luas. Karyawan yang awalnya hanya 10 orang terus bertambah, jumlah produk yang diedarkan di pasaran pun makin meningkat, bangunan pun tentu saja ikut bertambah. Menurut Ning, jamu mahkota dewa produksinya berhasil terjual tak kurang dari 2.000 botol dan meraup omzet Rp250 juta--Rp 300 juta per 1 bulan. Pemasarannya pun sudah meluas hingga ke Eropa. Meski demikian, Ning terus bergiat untuk melakukan penelitian lanjutan untuk menyempurnakan produk.

Seru, kan? Menarik, kan? Gimana, tertarik? Kali ini mahkota tak bermakna simalakama. Selagi tertarik dan mau menggarap dengan serius dan penuh cinta seperti Bu Ning ini, bisa jadi kesuksesan bakal menjadi milikmu. 

Baca juga: Nimba, Pohon dengan Banyak Kasiat

Laika, Mengangkasa bersama Sputnik 2 demi Peradaban Manusia

Adakah film yang sudah kamu tonton lebih dari sekali dan tetap bikin kamu nangis? Aku: Hachiko! Film tentang anjing Jepang versi Hollywood yang dibintangi Richard Gere itu sukses membuatku berurai air mata dalam tiga kali nonton. Bukan mau berbagi tentang tontonan, tapi tentang sensasi sedih yang sama yang kualami saat membaca kisah tentang Laika, anjing yang dikirim ke luar angkasa bersama Sputnik 2. Ini bukan film. Ini kisah nyata yang menyisakan pertanyaan: mengapa demi terobosan teknologi kita bebas menggunakan makhluk lain untuk berkorban?


Baca juga: Berkaca dari Kasus Tiara, Femisida dan Pencegahannya

Beberapa hari ingatanku dipenuhi dengan tatapan mata Laika. Aku merasa perlu menuliskannya untuk melepaskan ingatan yang sedih itu. Kucari beberapa referensi sebagai sumber informasi. 


Sekilas Wahana Antariksa USSR

Sebelum Sputnik 2 dengan awak Laika, Uni Soviet telah meluncurkan satelit buatan pertama. Sputnik 1 diorbitkan pada 4 Oktober 1957 dari Kazakh SSR (sekarang dikenal sebagai Kosmodrom Baikonur). Peristiwa yang terjadi pada puncak Perang Dingin ini mengejutkan dunia Barat, terutama Amerika Serikat yang juga telah membuat ancang-ancang peluncuran satelit buatan. 

Sputnik 1 mengorbit dengan kecepatan sekitar 29.000 kilometer per jam dan tiap orbit diselesaikan dalam waktu 96,2 menit. Mengutip wikipedia, operator radio di seluruh dunia memantau pergerakan satelit yang ditransmisikan pada 20.005 dan 40.002 MHz ini. Sinyal terpantau selama 21 hari sebelum satelit kehabisan baterai pemancar (26 Oktober 1957). Sputnik 1 terbakar saat memasuki atmosfer bumi pada 4 Januari 1958. 

Sputnik 2 diagendakan sebagai wahana antariksa yang membawa kehidupan. Tujuannya adalah menguji kemampuan binatang bertahan hidup di luar angkasa, yang kelak disiapkan bagi manusia dalam penerbangan di masa depan. 

Sputnik 2 dilengkapi dengan berbagai peralatan, seperti sistem telemetri dan pemancar radio. Di kabin terpisah tempat Laika, ada sistem pemantau kondisi vital seperti untuk detak jantung dan pernapasan, serta sistem pendukung kehidupan dasar seperti makanan dan minuman. Pesawat ini tidak dirancang untuk kembali ke Bumi. Setelah hampir 200 hari di orbit dan mengorbit Bumi sebanyak 2.570 kali, Sputnik 2 terbakar saat memasuki atmosfer Bumi (14 April 1958). 

Baca juga: Balakosa, Kisah Mistis Berlatar Tumbal Manusia


Laika, Anjing yang Dikorbankan demi Peradaban Manusia

Peristiwanya sudah jauh terlewati, hampir 7 dekade. Namun, barangkali bagi para pencinta binatang, khususnya anjing, kisah Laika ini tak lekang dari ingatan. 

Pada 3 November 1957, Uni Soviet meluncurkan pesawat Sputnik 2. Seperti dilansir laman britannica.com, Laika secara resmi mendapat tugas sebagai awak pesawat. Anjing ini tercatat sebagai makhluk hidup pertama yang dikirim ke luar angkasa untuk mengorbit bumi. Istilah "mendapat tugas" itu bukanlah istilah yang tepat. Karena ia bukan tim manusia yang punya cita-cita memajukan peradabannya itu. Ia hanya anjing biasa; anjing liar yang tak akan ada yang kehilangan jika ia tak ada.

Nama dia sesungguhnya adalah Kudrjavka, yang dalam bahasa Rusia artinya keriting. Anjing yang kemudian dinamai Laika itu ditemukan tim pemerintah saat berkeliaran di sepanjang jalanan Moskow. Ia digambarkan sebagai anjing yang kalem meski juga gemar menggonggong. Tim memilih anjing sebagai binatang uji coba karena mereka mudah dilatih. 

Ada beberapa perbedaan informasi terkait persiapan dan peristiwa kematian Laika. Ada yang menyebutkan telah disiapkan makanan berisi racun agar kematian Laikan berlangsung secara tidak menyakitkan. Namun, fakta lain dimunculkan pada 2002 lewat pengakuan salah satu ilmuwan yang pernah terlibat dalam proyek tersebut, Dimitri Malashenkov. Ia menceritakan Laika tewas dalam kurun 7 jam saat orbit keempatnya mengelilingi bumi. Sistem kontrol temperatur mengalami malfungsi yang mengakibatkan suhu di dalam pesawat tidak terkendali. Laika--menurut Dimitri--mati dengan brutal.

Laika memberikan kontribusi yang luar biasa dalam perkembangan teknologi satelit di Soviet. Berkat jasa Laika, akhirnya Soviet berhasil mengirim manusia pertama yang tercatat dalam sejarah. Pada 12 April 1961, Soviet meluncurkan Vostok 1 yang membawa kosmonot Yuri Gagarin.  Dengan misi yang sama--mengelilingi orbit Bumi, tapi kali ini Yuri bisa kembali dengan selamat ke Bumi.


Baca juga: Tetap Bahagia dan Berkarya Meski Hidup Sendiri

Ya, Laika memberikan kontribusi besar. Pertanyaannya, haruskah dia dikorbankan? Karena, konon, sesungguhnya pesawat dilengkapi dengan perangkat yang memungkinkan Laika kembali pulang ke Bumi dengan selamat. Rencana itu dibatalkan. Kepada tim yang mengembangkan Sputnik 2, pemimpin Uni Soviet saat itu, Nikita Khrushchev menginstruksikan agar pesawat itu dapat diluncurkan persis daat perayaan peringatan 40 tahun Revolusi Bolshevik.

Kenapa? Kenapa tidak menunggu dulu pesawat lebih sempurna? Rasanya pertanyaan itu terus berkecamuk di kepalaku saat membaca kisah Laika. Membayangkan anjing hitam putih itu berada di ruang hampa sendirian, tidak tahu ia ada di situ untuk apa, apa pedulinya dia dengan perkembangan sains kalangan manusia, tak paham juga soal perang pamor antarnegara. Membayangkan bagaimana ia merasakan sakitnya ... mungkin disertai gonggongan yang makin melemah. Ah, aku patah hati. 

Barangkali jika dibuatkan film, Laika juga akan membuatku patah hati berkali-kali seperti Hachiko, kisah anjing ala Hollywood yang kutonton itu. Entah apa ada film Korea soal anjing yang diangkat dari kisah nyata. Mesti tanya Mbak Rani Noona sebagai blogger yang cermat bikin blog review drakor, dracin, dan dorama.

Konon, tak lama setelah penerbangan, Soviet membuat pin enamel sebagai perayakan atas adanya “Penumpang Pertama di Luar Angkasa.” Dikabarkan pula, sekutu-sekutu Soviet masa itu (Rumania, Albania, Mongolia, Polandia, dan Korea Utara) ikut mendukung dengan mengeluarkan perangko Laika antara tahun 1957 dan 1987. Pada 2015, Soviet yang telah berubah menjadi Rusia juga membuat patung peringatan bagi Laika yang dibangun di atas roket di fasilitas penelitian militer Moskow. 


Baca juga: Portrait of A Lady on Fire, Kisah Cinta Terlarang Abad 18

Kalangan peneliti dan mereka yang berkecimpung di dunia teknologi terutama antariksa, barangkali hingga kini menganggap Laikan sebagai penyumbang andil besar. Namun yang masih menetap di benakku adalah tatapan matanya seperti di foto terakhirnya. 

Ah, Laika, aku patah hati. Baik-baik ya, di dunia mana pun kamu kini. 

Portrait of a Lady on Fire, Kisah Cinta Terlarang Abad 18

Saat berselancar di dunia maya, tak sengaja kutemukan film ini: Portrait of a Lady on Fire. Dalam asal Prancis yang judul aslinya Portrait de La Jeune Fille en Feu, dengan mengambil latar Perancis pada abad ke-18. Film yang disutradarai oleh Celine Sciamma ini rilis pada 2024 lalu. 



Baca juga: Discovery of Witches, Ketika Penyihir Perjuangkan Hidup yang Harmoni

Film ini berkisah tentang dua perempuan yang terlibat dalam hubungan asmara. Hubungan “terlarang” pada masanya, ketika gagasan tentang keragaman identitas seksual belum diterima doleh masyarakat Eropa. Buat kamu alergi terhadap kisah romansa sesama jenis, baiknya tak usah menonton. Tapi, kalau tertarik dengan kisah manusia dengan segala persoalannya, ini film yang menurutku layak tonton. Apalagi kalau working life-nya terkait dunia seni rupa.


Sinopsis

Film diawali dengan adegan kelas melukis. Guru lukis, Marianne (Noemie Merlant) memajang lukisan perempuan di bibir pantai di depan kelas. Lukisan yang menggugah peserta kelas dan memunculkan pertanyaan. Di sinilah muasal kisahnya. Marianne kembali ke masa lalu, sebuah kisah yang pernah dijalaninya. 

Sebagai pelukis muda berbakat, Marianne mendapat tugas untuk melukis sosok perempuan yang akan segera menikah. Untuk sampai di rumah sang calon pengantin, ia mesti melakukan perjalanan menggunakan kapal. Perjalanan yang cukup dramatis.

Sampai di lokasi yang dituju, ternyata masalahnya lebih rumit dari yang dibayangkan Marianne. Sang calon pengantin, Heloise (Adele Haenel) tak menginginkan pernikahan tersebut. Ia hanya jadi pemeran pengganti. Kakak yang mestinya menjadi pengantin--yang sepertinya juga tak menginginkan pernikahan itu--memilih bunuh diri. Dengan kenyataan tersebut, Marianne tak leluasa untuk melukis sosok perempuan muda itu. 

Ibu Heloise memberikan saran--persisnya siasat--agar Marianne menjadi kawan anaknya. Dengan kedekatan pertemanan, pelukis itu bisa melakukan tugasnya. Perempuan itu juga mengingatkan lamanya waktu yang diberikannya untuk menyelesaikan lukisan tersebut.

Marianne menunjukkan bakatnya secara nyata. Ingatan akan gerak-gerik Heloise saat mereka bersama segera dituangkannya ke dalam kanvas begitu ia tiba di kamarnya. Ia yang tak cepat puas berulang kali mengoreksi lukisannya begitu ia mendapati temuan ekspresi baru. Proses pertemanan mereka semakin dalam. Marianne makin banyak menemukan hal-hal baru dalam relasi mereka, terutama terkait proses lukisan. Hingga suatu kali ia merasa harus jujur menjelaskan keberadaannya di rumah tersebut. Meski awalnya muncul konflik di antara mereka, tak dinyana, Heloise akhirnya malah rela untuk menjadi subjek lukisan. 

Ada banyak drama dalam kurun waktu itu. Drama percintaan terlarang, termasuk kisah yang dialami asisten rumah tangga. 

Akhirnya waktu yang ditentukan tiba. Lukisan tuntas, saat perpisahan pun tak terelakkan. Begitu saja, kisah itu usai menyisakan luka dan kenangan pada masing-masing perempuan tersebut. 

Baca juga: Perempuan-Perempuan dalam Karya Pramudya Ananta Toer


Bukan Semata Romansa Sesama Jenis, Ini Kisah tentang Pembebasan

Aku tak membaca lebih dulu bahasan tentang film ini. Seperti biasa. Aku lebih suka kejutan. Awalnya tak berpikir jika film ini membeberkan kisah hubungan sesama jenis. Sejak awal ditunjukkan perbedaan mencolok antara Marianne dan Heloise. Marianne yang bukan hanya memiliki pemikiran yang lebih terbuka, tapi sekaligus juga menjalani hidup yang memang menjadi pilihannya. Berbeda dengan Heloise yang harus menuruti kata ibunya. Menjaga nama baik keluarga adalah tugas yang harus diembannya. 

Lewat relasi yang sederhana, pelan-pelan Heloise bisa menikmati dirinya sebagai sebuah pribadi. Menikmati kebebasannya sebelum masuk dunia pernikahan. Hal yang barangkali cukup mahal bagi perempuan pada abad ke-18. Dan hal-hal baru Heloise dapatkan dan pelajari dalam relasi singkatnya dengan Marianne. 

Film ini berhasil menjadi jawara untuk kategori Screenplay dan Queer Palm pada Cannes Film Festival 2019. Penghargaan ini diberikan sebagai apresiasi diangkatnya tema LGBT dalam film tersebut. 

Mengutip berbagai sumber, sutradara Celine Sciamma memang seorang feminis dan lesbian. Karya-karyanya banyak mengusung ironi hubungan perempuan dan wanita. Penghargaan Queer Palm ini menjadikan Sciamma sutradara perempuan pertama mendapatkan penghargaan tersebut.

Film ini merupakan film pertama tema ini yang kutonton. Ada sejumlah film yang melihatkan kisah cinta sejenis, seperi dalam Brokeback Mountain, atau Harvey's Milk, atau The Girl with Dragon Tatoos--terutama yang versi Swedia, hmmm ...  apa lagi, ya. Namun, dalam film-film tersebut hanya semacam gambaran personal tokoh. Berbeda dengan film ini yang secara jelas memang mengangkat same sex love, dengan penyajian yang indah. 

Tentu saja bukan sekadar kisah percintaan. Isu sosial di masa itu juga menjadi bagian menarik dari cerita. Tentang bagaimana kaum perempuan dipaksa untuk menikah dengan pasangan yang disediakan semata demi kuasa dan kekayaan. Begitu pula tentang kondisi perempuan yang mengalami kehamilan sebelum menikah, dihadapkan pada konsekuensi yang berat. 

Hal menarik lainnya, buatku adalah penggambaran suasana desa di Perancis pada masa lalu. Mengajak berimajinasi mengelanai masa lalu. 

Menurutku, Portrait of a Lady on Fire ini asyik sebagai sebuah tontonan, selagi bisa membebaskan diri dari stigma, penghakiman dengan mengaitkan same sex love sebagai masalah mental health

Baca juga: Berkaca dari Kasus Tiara, Femisida dan Pencegahannya