Portrait of a Lady on Fire, Kisah Cinta Terlarang Abad 18

Saat berselancar di dunia maya, tak sengaja kutemukan film ini: Portrait of a Lady on Fire. Dalam asal Prancis yang judul aslinya Portrait de La Jeune Fille en Feu, dengan mengambil latar Perancis pada abad ke-18. Film yang disutradarai oleh Celine Sciamma ini rilis pada 2024 lalu. 



Baca juga: Discovery of Witches, Ketika Penyihir Perjuangkan Hidup yang Harmoni

Film ini berkisah tentang dua perempuan yang terlibat dalam hubungan asmara. Hubungan “terlarang” pada masanya, ketika gagasan tentang keragaman identitas seksual belum diterima doleh masyarakat Eropa. Buat kamu alergi terhadap kisah romansa sesama jenis, baiknya tak usah menonton. Tapi, kalau tertarik dengan kisah manusia dengan segala persoalannya, ini film yang menurutku layak tonton. Apalagi kalau working life-nya terkait dunia seni rupa.


Sinopsis

Film diawali dengan adegan kelas melukis. Guru lukis, Marianne (Noemie Merlant) memajang lukisan perempuan di bibir pantai di depan kelas. Lukisan yang menggugah peserta kelas dan memunculkan pertanyaan. Di sinilah muasal kisahnya. Marianne kembali ke masa lalu, sebuah kisah yang pernah dijalaninya. 

Sebagai pelukis muda berbakat, Marianne mendapat tugas untuk melukis sosok perempuan yang akan segera menikah. Untuk sampai di rumah sang calon pengantin, ia mesti melakukan perjalanan menggunakan kapal. Perjalanan yang cukup dramatis.

Sampai di lokasi yang dituju, ternyata masalahnya lebih rumit dari yang dibayangkan Marianne. Sang calon pengantin, Heloise (Adele Haenel) tak menginginkan pernikahan tersebut. Ia hanya jadi pemeran pengganti. Kakak yang mestinya menjadi pengantin--yang sepertinya juga tak menginginkan pernikahan itu--memilih bunuh diri. Dengan kenyataan tersebut, Marianne tak leluasa untuk melukis sosok perempuan muda itu. 

Ibu Heloise memberikan saran--persisnya siasat--agar Marianne menjadi kawan anaknya. Dengan kedekatan pertemanan, pelukis itu bisa melakukan tugasnya. Perempuan itu juga mengingatkan lamanya waktu yang diberikannya untuk menyelesaikan lukisan tersebut.

Marianne menunjukkan bakatnya secara nyata. Ingatan akan gerak-gerik Heloise saat mereka bersama segera dituangkannya ke dalam kanvas begitu ia tiba di kamarnya. Ia yang tak cepat puas berulang kali mengoreksi lukisannya begitu ia mendapati temuan ekspresi baru. Proses pertemanan mereka semakin dalam. Marianne makin banyak menemukan hal-hal baru dalam relasi mereka, terutama terkait proses lukisan. Hingga suatu kali ia merasa harus jujur menjelaskan keberadaannya di rumah tersebut. Meski awalnya muncul konflik di antara mereka, tak dinyana, Heloise akhirnya malah rela untuk menjadi subjek lukisan. 

Ada banyak drama dalam kurun waktu itu. Drama percintaan terlarang, termasuk kisah yang dialami asisten rumah tangga. 

Akhirnya waktu yang ditentukan tiba. Lukisan tuntas, saat perpisahan pun tak terelakkan. Begitu saja, kisah itu usai menyisakan luka dan kenangan pada masing-masing perempuan tersebut. 

Baca juga: Perempuan-Perempuan dalam Karya Pramudya Ananta Toer


Bukan Semata Romansa Sesama Jenis, Ini Kisah tentang Pembebasan

Aku tak membaca lebih dulu bahasan tentang film ini. Seperti biasa. Aku lebih suka kejutan. Awalnya tak berpikir jika film ini membeberkan kisah hubungan sesama jenis. Sejak awal ditunjukkan perbedaan mencolok antara Marianne dan Heloise. Marianne yang bukan hanya memiliki pemikiran yang lebih terbuka, tapi sekaligus juga menjalani hidup yang memang menjadi pilihannya. Berbeda dengan Heloise yang harus menuruti kata ibunya. Menjaga nama baik keluarga adalah tugas yang harus diembannya. 

Lewat relasi yang sederhana, pelan-pelan Heloise bisa menikmati dirinya sebagai sebuah pribadi. Menikmati kebebasannya sebelum masuk dunia pernikahan. Hal yang barangkali cukup mahal bagi perempuan pada abad ke-18. Dan hal-hal baru Heloise dapatkan dan pelajari dalam relasi singkatnya dengan Marianne. 

Film ini berhasil menjadi jawara untuk kategori Screenplay dan Queer Palm pada Cannes Film Festival 2019. Penghargaan ini diberikan sebagai apresiasi diangkatnya tema LGBT dalam film tersebut. 

Mengutip berbagai sumber, sutradara Celine Sciamma memang seorang feminis dan lesbian. Karya-karyanya banyak mengusung ironi hubungan perempuan dan wanita. Penghargaan Queer Palm ini menjadikan Sciamma sutradara perempuan pertama mendapatkan penghargaan tersebut.

Film ini merupakan film pertama tema ini yang kutonton. Ada sejumlah film yang melihatkan kisah cinta sejenis, seperi dalam Brokeback Mountain, atau Harvey's Milk, atau The Girl with Dragon Tatoos--terutama yang versi Swedia, hmmm ...  apa lagi, ya. Namun, dalam film-film tersebut hanya semacam gambaran personal tokoh. Berbeda dengan film ini yang secara jelas memang mengangkat same sex love, dengan penyajian yang indah. 

Tentu saja bukan sekadar kisah percintaan. Isu sosial di masa itu juga menjadi bagian menarik dari cerita. Tentang bagaimana kaum perempuan dipaksa untuk menikah dengan pasangan yang disediakan semata demi kuasa dan kekayaan. Begitu pula tentang kondisi perempuan yang mengalami kehamilan sebelum menikah, dihadapkan pada konsekuensi yang berat. 

Hal menarik lainnya, buatku adalah penggambaran suasana desa di Perancis pada masa lalu. Mengajak berimajinasi mengelanai masa lalu. 

Menurutku, Portrait of a Lady on Fire ini asyik sebagai sebuah tontonan, selagi bisa membebaskan diri dari stigma, penghakiman dengan mengaitkan same sex love sebagai masalah mental health

Baca juga: Berkaca dari Kasus Tiara, Femisida dan Pencegahannya


Berkaca dari Kasus Tiara, Femisida dan Peran Perempuan dalam Pencegahannya

Awal September lalu sebuah kabar menggemparkan datang dari Surabaya, Jawa Timur. Peristiwa pembunuhan yang sadis, dengan korban seorang perempuan. Publik menyangkutkan peristiwa ini sebagai femisida. Dan ini bukan kali pertama. Dalam setahun terakhir saja kita bisa mengeja femisida yang terjadi di beberapa kawasan di tanah air. Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah peristiwa seperti ini kembali terjadi? Apakah kita bisa ambil peran untuk kondisi kesetaraan, kondisi egaliter dalam masyarakat kita?


Baca juga: Laki-Laki dan Peran Pentingnya dalam Kekerasan Berbasis Gender

Kita masih belum lupa peristiwa naas yang menimpa gadis penjual gorengan di Pariaman. Gadis muda yang menjadi tumpuan keluarga itu menghilang dan ditemukan sudah dalam kondisi mengenaskan. Bakal panjang daftarnya jika kita eja satu per satu. Menunjukkan bahwa ini salah satu PR besar kita. Coba cek di mesin pencari "mayat bayi perempuan", sepanjang tahun ada saja beritanya.


Apa Itu Femisida

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), femisida artinya pembunuhan seorang perempuan oleh laki-laki atas dasar kebencian gender. Pembunuhan terhadap perempuan atau anak perempuan yang didasarkan pada jenis kelaminnya. Sedangkan pengertian femisida menurut Sidang Umum Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.

Istilah femisida digunakan permata kalinya oleh Diana Russel dalam acara International Tribunal on Crimes Against Women (1976) dengan materi tentang "pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki". 

Data UN Women menunjukkan bahwa pada 2022 tercatat sekitar 48.800 perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia dibunuh oleh pasangan mereka atau anggota keluarga lainnya. Jika dirata-rata, lebih dari 133 perempuan atau anak perempuan di dunia dibunuh setiap hari oleh orang dekat mereka. 

Bagaimana dengan di Indonesia?

Komnas Perempuan dalam rilis mereka pada 2024 lalu menyebutkan bahwa mereka telah melakukan pemantauan kasus femisida melalui pemberitaan media. Masih banyak ketimpangan informasi terkait kasus ini. Namun beberapa informasi yang mereka bagikan dalam rilis tersebut di antaranya adalah catatan kasus indikasi femisida pada 2020, 2021, 2022, dan 2023. Pada 2020 terpantau ada 95 kasus femisida, pada 2021 terpantau 237 kasus, pada 2022 terpantau 307 kasus, dan pada 2023 terpantau 159 kasus. Dalam setiap tahun tersebut menempatkan femisida intim sebagai jenis femisida tertinggi. Femisida intim itu meliputi suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi. 

Menurut Komisioner Komnas Perempuan Rainy M Hutabarat, selain femisida intim, korban perempuan dalam kasus femisida adalah perempuan disabilitas, perempuan pekerja seks (baik dari dari pengguna jasa maupun mucikarinya), transpuan, dan perempuan dengan orientasi seksual minoritas. 

Jadi, menggarisbawahi yang disampaikan Rainy dalam rilis tersebut, yang membedakan femisida dengan pembunuhan biasa adalah adanya motivasi gender. Femisida, pada umumnya berlatar belakang rasa cemburu, ketersinggungan maskulinitas, menolak bertanggungjawab, kekerasan seksual, menolak perceraian atau pemutusan hubungan. Hal itu menunjukkan adanya ketimpangan relasi kuasa laki-laki atas diri perempuan. Adanya superioritas, hegemoni, dominasi, misogini, stereotip gender, dan rasa memiliki yang tak terbantahkan.   

Baca juga: Mengapa Perempuan Perlu Bekerja


Kasus Tiara dan Sikap Perempuan yang Merendahkan 

Tiara Angelina Saraswati dibunuh oleh pacarnya sendiri, Alvi Maulana. Ada yang mengatakan mereka sudah nikah siri. Apa pun statusnya, mereka memiliki ikatan kuat yang memungkinkan mereka membuat keputusan untuk menjalani hidup bersama. Bayangkan, bagaimana seseorang yang hubungannya telah begitu dekat bisa melakukan kekejaman serupa itu? Bukan hanya membunuh, Alvin juga mempreteli tubuh kekasihnya dan membuangnya ke lokasi yang berbeda-beda. Sungguh gila!

Tapi itulah yang terjadi. Bisa jadi yang mereka alami sebelumnya adalah tumpukan kekecewaan, kemarahan, rasa tidak puas yang akhirnya ketemu titik puncak. Bisa jadi. Tapi bukan wewenang kita untuk menduga-duga. Di media malah sempat ditampilkan pos-pos lama Tiara di media sosial. Banyak orang yang berasumsi Tiara memiliki gaya hidup yang tak sesuai dengan kemampuan. Dan lain-lain, dan sebagainya. Kita sebagai pembaca sama sekali tak tahu apa terjadi sesungguhnya. Faktanya adalah Tiara dibunuh dengan sadis. Tak ada alasan apa pun untuk menyalahkan Tiara sebagai korban. Ajaib sungguh kalau orang menyalahkan Tiara, bahkan komentar negatif datang dari kaum perempuan.

"Makanya jadi perempuan jangan mengekang."

"Kasih kebebasan ke laki-laki, yang penting uangnya lancar."

"Suami pulang kerja mestinya disambut ..."

Mengapa perempuan sering kali menyalahkan perempuan lain?

Menurutku hal utamanya adalah karena banyak perempuan yang sesungguhnya tidak bahagia. Meski segala komentarnya berbalut moralitas, petuah relijius, merasa sebagai yang paling punya pengalaman, hal mendasarnya adalah mereka tidak bahagia. Dan menjadi kegembiraan tersendiri ketika mereka berhasil menjatuhkan perempuan lain, menempatkan sama dengan kondisi dirinya sendiri.

Lha, bagaimana ceritanya, korban pembunuhan brutal masih disalahkan?! Apakah mereka sadar narasi mereka itu dapat memupuk potensi kekerasan terhadap perempuan lainnya? 

Bangun, wahai perempuan! Kalian perlu saling mendukung dan menguatkan. Banyak kejahatan di luar sana, yang kamu bisa memberikan andil dengan tidak mengumbar ketidakpuasanmu akan hidupmu dengan menjatuhkan perempuan lain. 

Baca juga: Menjadi Perempuan Mandiri dan Merdeka


Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Mencegah Kasus Femisida

Kasus femisida terjadi di lingkungan dekat, melibatkan orang-orang yang dikenal dan memiliki hubungan personal. Pacaran dan pernikahan sangat mungkin menjadi bentuk relasi yang tidak aman bagi perempuan. 

Apa yang bisa kita lakukan sebagai bagian dari masyarakat?

Tentu saja kita perlu berharap ada aturan yang dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup personal ini. Aparat penegak hukum sigap dalam menghadapi kasus-kasus terkait kekerasan dalam rumah tangga, ancaman, manipulasi yang terus berulang, kekerasan seksual. Pernah tahu, kan, berita kematian perempuan yang sebelumnya telah melaporkan peristiwa KDRT yang dialaminya, tapi tidak ditindaklanjuti oleh aparat? Itu benar-benar terjadi. Fakta bahwa aparat kita kurang sigap memberikan pelayanan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, khususnya kekerasan yang menimpa perempuan. 

Dalam rilis Jakarta Feminist yang dipublikasikan pada 2024 lalu disebutkan bahwa hukum nasional Indonesia belum mengakui femisida sebagai sesuatu yang berbeda dari homicide. Rilis ini juga memuat pernyataan Deputi V Kemenko Polkam, Dr. Erni Mustikasari yang menyebutkan bahwa femisida tidak diatur dalam hukum pidana nasional. Yang diatur hanya delik pembunuhan pada KUHP namun tidak mengatur delik pembunuhan khusus terhadap perempuan. Memang, ada pemberatan ancaman pidana 1/3 pada delik pembunuhan terhadap istri atau anak dalam KUHP Nasional. Sementara UU Specialis seperti UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU PTPPO atau UU TPKS tidak mengatur delik pembunuhan, melainkan kekerasan yang mengakibatkan kematian, yang berbeda dengan delik pembunuhan karena ditujukan terhadap tubuh bukan merampas nyawa.

Dari sisi regulasi, masih jadi PR besar. Sambil terus menunggu kebijakan pemerintah yang lebih peka terhadap permasalahan ini, ada baiknya kita mulai aksi dari diri sendiri. Apa yang kita bisa lakukan sebagai andil untuk menghentikan femisida?

Pertama dan utama: keluarga. Membesarkan anak dalam budaya yang egaliter, membebaskan keluarga dari penjara budaya patriarki. Menciptakan budaya adil dan setara serta sadar gender. Kalau belum berkeluarga, bisa memulainya dari lingkungan terdekat.

Kedua, memanfaatkan media massa dan media sosial untuk mensosialisasikan kepedulian terhadap isu femisida. Siapa pun yang memiliki akun media sosial, bisa menyebarkan informasi perihal femisida dalam berbagai cara penyampaian.

Ketiga, aktif dalam komunitas atau organisasi yang mengusung tema keadilan berbasis gender. Atau bergabung dalam kelompok perlindungan korban. Komunitas atau kelompok-kelompok ini biasanya aktif melakukan edukasi terkait isu-isu gender. Termasuk di antaranya kepekaan terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di sekitar. Komunitas yang solid dengan jaringan luas juga mampu memberikan dorongan kepada pemerintah untuk menelurkan kebijakan yang peduli gender.

Pendek kata, banyak yang bisa kita lakukan untuk terlibat dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan, utamanya femisida. Kita di sini bisa siapa saja, aku dan kamu, laki-laki, perempuan, maupun multi gender. Bisa dijadikan bagian dari lifestyle ibu millennial.

Satu hal penting lainnya, melatih kesadaran untuk menyadari potensi kekerasan yang mungkin dilakukan oleh keluarga, pasangan, atau orang dekat lainnya. Jika dibutuhkan penanganan secara profesioanal, lebih cepat lebih baik. Untuk yang belum menjadi pasangan resmi, barangkali perlu dipikirkan ulang jika pasangannya punya persoalan dengan mental health atau kesehatan mental. Sebelum "terjebak" dalam pernikahan, apalagi sampai punya keturunan, karena mental health mom itu penting banget bagi tumbuh kembang anak dan masa depan mereka.

Baca juga: Tetap Bahagia dan Giat Berkarya saat Menjalani Hidup Sendiri

Balakosa, Kisah Mistis Berlatar Aksi Tumbal Manusia

Bagi penggemar tema misteri, buku ini layak untuk dijadikan pilihan. Misteri dengan nuansa horor yang mengambil latar belakang tradisi Bali. Alur ceritanya cukup mengagetkan dan menghadirkan plot twist di penghujung kisah. Coba menggali nama penulis--Prima Taufik, termasuk pemilihan judul buku--di mesin pencari, tapi tak cukup membantu. Jadi, aku mau membagikan saja pengalaman membaca buku ini, siapa tahu ada yang sedang mencari inspirasi menulis kisah horor atau misteri.



Baca juga: Cantik Itu Luka, Kisah Perempuan-Perempuan dengan Luka

Sebagai orang yang besar di kampung, aku cukup familier dengan cerita tentang pertumbalan. Entah nyata atau tidak, kisah-kisah tentang mereka yang melakukan aksi tumbal demi mendapatkan kekayaan ini beredar dari mulut ke mulut. Di Bandung, di wilayah yang sudah hingar kota ini, rupanya praktik pertumbalan juga masih banyak beredar di tengah masyarakat. Ah, tapi lain waktu saja kuceritakan lebh detail, ya.


Sinopsis

Cerita diawali dengan peristiwa tragis yang menimpa Hanggono Sastrowiharjo. Kendaraan yang ia tumpangi mengalami kecelakaan. Prolog yang cukup menghentak, ketika dua pengendara truk itu dihadapkan pada sosok dari dunia lain.

Kisah yang sesungguhnya dimulai dari Bab 1. Hanggono melakukan perjalanan menyeberangi Selat Bali. Ia memutuskan hijrah ke Pulau Dewata, dengan istrinya, Kumala Dewi, tentu saja. Pasangan muda sudah sering diganggu makhluk dalam aneka wujudnya, sejak awal pernikahan mereka. Penyebabnya ada di diri Hanggono. Begitu pula perjalanan pendek tersebut, tak lepas dari gangguan dari makhluk yang muncul dalam sosok perempuan berkebaya hijau. Badai dan ombak besar mengiringi perjalanan mereka. Namun, perjalanan akhirnya berlangsung aman dan lancar; perjalanan yang merupakan cikal kehidupan mereka yang baru.

Baca juga: Book Sleeve, Pembaca Buku Wajib Punya

Kehidupan pasangan ini berjalan dengan baik. Dengan bantuan Kamajaya, orang yang punya kaitan dengan sejarah keluarga istrinya, hal-hal yang terkait mistis yang menjadi permasalahan Hanggono, berhasil diatasi. Namun, itu tak berlangsung selamanya. Ada masalah-masalah baru seiring dengan hadirnya anak-anak mereka. Dua anak laki-laki dengan keingintahuan mereka. Ada begitu banyak pantangan yang harus dipatuhi bocah-bocah tersebut. Jika tidak, keberadaan mereka akan terendus oleh kalangan yang selama ini terus mengintai.

Siapakah kalangan itu? Tak lain adalah keluarga Hanggono. Di sinilah titik kembali ke bagian prolog, peristiwa kecelakaan yang ternyata merenggut nyawa Hanggono. Kisah selengkapnya dari masa lalu Hanggono muncul ketika anak sulung mereka, Wayan, tak percaya dengan informasi perihal kematian sang ayah. Dia mengulik, dia mencari tahu. Tak tanggung-tanggung, ia menyusur ke akarnya: keluarga Hanggono.

Banyak keanehan dan hal ganjil yang ditemukan Wayan di keluarga ini. Berulangkali ia berada dalam kondisi kritis. Hingga tiba di satu titik, pertempuran tak terelakkan. Ini terjadi setelah ibu dan adik Wayan menyusul ke rumah keluarga Hanggono. Hasilnya tak cukup baik. Kumala Dewi yang ternyata memiliki kesaktian bawaan keluarga, dan sang adik yang sudah cukup membekali diri tak sanggup melawan kekuatan keluarga Bayu Sastrowiharjo, pamannya Hanggono. Ada kekuatan luar biasa yang mempengaruhi keluarga ini. Wayan yang akhirnya tersisa dari keluarga besar Sastrowiharjo tak luput dari kekuatan itu. 

Apakah ia akan bergabung sebagai pewaris ataukah memilih hidupnya sendiri? Tak terjawab. Jawabannya diserahkan kepada pembaca.

Baca juga: Menerbitkan Buku Antologi secara Mandiri


Kisah Mistis yang Memikat

Aku menemukan buku ini setelah sekian lama menyimpan naskah dengan latar belakang tradisi Bali yang coba kuramu. Berasa diingatkan kembali bahwa aku punya PR.  

Baca buku ini mengingatkanku pada cerita yang dituliskan Dee Lestari di Aroma Karsa. Terutama di bagian yang aku salah menduga tokoh yang jadi pemeran utama. Awalnya yang langsung muncul di benakku saat membaca prolog, ini buku akan mengisahkan tentang Hanggono. Dari peristiwa kecelakaan itu Hanggono berhasil pulih, melanjutkan hidup, dan dari situlah kisahnya berawal. Ternyata tidak. Sebetulnya tak cukup mengherankan juga jika ada anggapan begitu, karena penceritaan tentang Hanggono mengambil tempat setengah bagian. Sisanya barulah cerita tentang Wayan. 

Kalau di Aroma Karsa, kuduga Raras Prayagung menjadi pusat cerita. Raras yang di awal ditampilkan dalam pertemuan dengan eyangnya, Eyang Janirah, ternyata menjadi sosok antagonisnya. Tanaya Sumi, anak semaya wayang yang dimunculkan belakangan mengambil porsi protagonisnya. 

Baca juga: Aroma Karsa, Karya Wangi Dee Lestari yang Menegangkan

Kembali ke Balakosa ... Pada catatan sinopsis di atas barangkali terkesan lempeng saja, ya. Padahal banyak gejolak yang ditampilkan dalam buku ini. Nyaris di setiap babnya menyodorkan ketegangan. Terseret, terbawa cerita, lalu di ujungnya: "loh, kok gitu?" Pertanyaan itu bisa jadi muncul dari pembaca yang mengharapkan akhir kisah yang tuntas; titik tanpa koma. Tapi tampaknya bukan itu yang dikehendaki penulisnya. 

Silakan baca kalau menjumpai buku ini. Nggak tahu juga untuk sekarang bisa didapatkan di mana. Konon, ada sedikit masalah antara penerbit dengan penulis sehingga peredaran bukunya tak cukup jelas.

Ah, tapi baca buku ini beneran memantikku untuk segera menuntaskan yang pernah kumulai. Nuansa-nuansanya rada mirip, Bali, horor, dan mistis. Mungkin ada di antara kawan-kawan yang mau nyumbang ide untuk bagian dari cerita, mau banget, lho. Nggak tahu juga, kalau Mas Bambang dengan Rumah Kurcaci Pos yang menjadi tempat berbagi cerita dan ceria juga punya kumpulan ide untuk tema horor dan mistis. Yang punya pengalaman mistis, boleh share di komentar atau japri, ya. Tengkyuuu.

Baca juga: Supata Sangkuriang, Ketika Legenda menjadi Certa Nyata


Judul: Balakosa

Penulis: Prima Taufik

Penyunting: Nurul Amanah

Penerbit: Pastel Books (PT Mizan Pustaka)

Tebal: 414 halaman




Waspada Kesehatan Mental dan Upaya Penanganan dengan Terapi Energetik BCR

Jumat lalu dikejutkan oleh kabar kematian ibu dan dua anaknya. Kematian yang tidak wajar. Sang ibu menghabisi nyawa anaknya dengan memberi mereka racun sebelum mengakhiri hidupnya sendiri dengan gantung diri. Peristiwa ini kembali membuat orang ternganga. Sebuah kenekatan yang bikin pilu, terlebih di tengah kondisi negeri yang sedang tidak baik-baik saja. Apa yang sedang dialami ibu ini? Tapi, jika dilihat dari tindakan bunuh diri, bisa dipastikan jika ibu tersebut mengalami gangguan kesehatan mental. Yuk, aware dengan gejala gangguan mental yang dialami orang-orang di sekitar kita.


Baca juga: Olah Napas untuk Kesehatan Mental

Surat yang ditinggalkan Ibu Banjaran ini disebar di berbagai media. Menyiratkan ketakutan dan kekhawatirannya akan masa depannya bersama dua anaknya. Selain merasa sering diabaikan oleh suaminya, sang suami juga terjebak hutang besar yang ia taks yakin bagaiamana menyelesaikannya. Ada berapa banyak kisah seperti ini beredar di sekitar kita?  


Apa Itu (Gangguan) Kesehatan Mental?

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan mental sebagai kondisi kesejahteraan mental yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi stres dalam hidupnya, mengekspresikan kemampuannya, belajar dan bekerja dengan baik, serta memberikan kontribusi bagi masyarakat di sekitarnya.

Seseorang disebut mengalami gangguan mental (mental disorders) jika ia tak berhasil mengatasi berbagai gejala yang memengaruhi emosi, pikiran, dan perilakunya. Kondisi ini bisa memburuk jika gejala dialami secara terus-menerus, tidak mencari jalan keluar, dan menjadikan penderitanya merasa tidak bahagia. 

Kesehatan mental yang terganggu bukanlah kondisi tiba-tiba. Ada proses yang sudah berlangsung lama. Tidak adanya kesadaran untuk melakukan upaya penyembuhan, menjadi gangguan ini semakin solid. Beberapa faktor menjadi pemicu terjadinya gangguan, di antaranya adalah:

Faktor biologis:

  • Gangguan pada fungsi saraf otak 
  • Kerusakan pada otak, baik kelainan bawaan, akibat infeksi atau trauma kecelakaan.
  • Memiliki riwayat gangguan mental dari keluarga
  • Otak mengalami kekurangan oksigen pada proses kelahiran
  • Kekurangan gizi
  • Konsumsi NAPZA dalam jangka panjang

Faktor psikologis:

  • Trauma akibat kekerasan fisik dan verbal, baik di masa lalu maupun sedang berlangsung
  • Luka masa kecil, terutama dalam relasi dengan orang tua 
  • Kurang bisa bersosialisasi dengan orang dan lingkungan 
  • Rasa kehilangan yang mendalam akibat ditinggalkan orang terdekat 
  • Merasa gagal, tidak mampu, kesepian, dan penilaian negatif terhadap diri sendiri lainnya

Ada sejumlah gejala khas yang mengikuti mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental. Tanda-tandanya bervariasi, tergantung jenis gangguan yang dialami. Beberapa di antaranya adalah: 

  • Mengalami rasa sedih yang berlarut-larut; kesedihan yang sering kali tanpa sebab yang jelas
  • Mengalami perubahan emosi yang drastis
  • Kehilangan rasa peduli terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar
  • Merasakan kelelahan yang berkepanjagan, tak punya tenaga, mengalami gangguan tidur 
  • Mengapami perubahan kebiasaan makan, misalnya menjadi sangat berlebihan atau sangat kurang

Adapun jenisnya, sejauh ini, ada ratusan jenis gangguan mental yang telah dijadikan rujukan diagnosis wilayah psikiatri. Beberapa yang telah cukup kita kenal, antara lain: 

  • Gangguan emosi (depresi, bipolar, obsesif-kompulsif/OCD, dll.)
  • Gangguan kecemasan (anxiety disorder) 
  • Gangguan kepribadian (antisosial, narsistik, histrionik, dll.)
  • Gangguan kurang perhatian dan hiperaktivitas (attention-deficit/hyperactivity disorder/ADHD)
  • Gangguan makan.
  • Gangguan stres pasca trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD)
  • Gangguan autisme (autisme spectrum disorder/ASD)
  • Skizofrenia 

Baca juga: Berdamai dengan Inner Child


Menjaga Mental Tetap Sehat

Apa yang perlu kita lakukan agar kesehatan mental kita terjaga? Hal sederhana dari ajaran Stoic adalah memfokuskan diri pada apa pun yang bisa kita kendalikan. Karena sering kali yang terjadi, pikiran kita banyak dipengaruhi bahkan dijajah oleh keinginan untuk mengendalikan segalanya. 

Beberapa poin Stoikisme yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari: 

1. Memahami tentang hal yang bisa dan tidak bisa diubah. Ini merupakan ajaran dasar dari Stoik. Untuk membiasakan, pemilahan ini perlu dilakukan setiap hari secara sadar, tentang apa-apa yang bisa diubah dan tidak. 

2. Membiasakan diri membuat catatan. Buatku sendiri, membuat jurnal harian masih menjadi hal yang sulit dilakukan. Tapi kebiasaan ini merupakan hal baik yang diakui oleh generasi ke generasi. Melalui jurnal ini kita bisa berkaca dari pengalaman yang sudah lewat. Hal ini juga membantu pengenalan terhadap diri sendiri dan perkembangan kepribadian kita. 

3. Menyadari bahwa segala hal apa adanya. Hal alami setiap orang adalah menerima yang baik-baik saja, yang menguntungkan saja, yang membuat gembira saja. Padahal hidup selalu berubah. Adalah penting untuk menerima segala hal sebagai bagian dari pembelajaran hidup. 

4. Menciptakan kebahagiaan. Yup, kebahagiaan bukanlah pemberian, ia hadir dengan diciptakan. Penciptanya ya kita sendiri. Ini terhubung ke poin pertama, bahwa kita tak bisa mengendalikan segala hal di luar kita. Yang lebih penting adalah bagaiamana kita merespons setiap persoalan. 

5. Menyadari diri sebagai bagian dari alam semesta. Pernyataan "kita bukan siapa-siapa" bukan berarti mengecilkan peran kita. Ini semata kesadaran ada dunia yang lebih luas di luar kita. Tak perlu berfokus pada kemalangan dan hal buruk dari pengalaman sendiri. Tak ada yang abadi, segala hal bergerak, segala hal berubah. 

Perlu juga untuk membangun dan memperlajari hal-hal baru yang menantang. Terlebih bagi kamu yang terbiasa melakukan rutinitas yang sama dari waktu ke waktu. Aku sendiri tengah mengulik pembelajaran hal baru baru terkait bahasa, penerbitan, dan kemampuan perceiving. Dan itu seru. 

Ada juga kawan-kawan blogger yang rutin menulis di blognya masing-masing, sebagai bagian dari journaling, pun tempat menuangkan ide-ide kreatif mereka, seperti ide market day. Silakan bisa dicoba untuk keseharian ibu modern

Namun, jika ditemukan kesadaran bahwa kesehatan mental sudah mengalami gangguan mental yang signifikan, jangan ragu untuk meminta pertolongan kepada profesional. Kamu bisa mengunjungi psikolog, psikiater, atau terapis kesehatan mental.  

Baca juga: Pulihkan Trauma dan Ciptakan Hidup Sehat Selaras dengan Terapi BCR


Penanganan Gangguan Kesehatan Mental dan Terapi BCR

Hal pertama dan utama dari langkah penanganan adalah acknowledge, pengakuan. Orang yang mengalami gangguan kesehatan mental perlu mengakui bahwa dirinya memang sedang bermasalah. Tanpa pengakuan tersebut, tak mungkin ada proses penyembuhan. 

Dalam beberapa bulan terakhir ini aku mempelajari terapi Body Communication Resonance (BCR). Pendekatan penyembuhan yang diprakarsai oleh Dhavid Avandijaya Wartono ini berfokus pada pemulihan keharmonisan antara tubuh dan pikiran melalui peningkatan kesadaran tubuh, relaksasi, dan pengelolaan energi vital. Dalam BCR terapis hanya bertugas menyediakan ruang bagi pemulihan klien/pasien. Ia hanya memfasilitasi pemulihan emosional dan fisik, sisanya diserahkan kepada klien/pasien untuk memprosesnya. Jika klien/pasien bersedia untuk berubah, maka tubuhnya akan berproses untuk meningkatkan kemampuan self-healing dan menciptakan kedamaian dalam diri. 

BCR menekankan body awareness. Mengajak kita menyadari bagaimana emosi dan pengalaman psikologis bermanifestasi dalam tubuh. Bagaimana hal yang menyasar mental dapat berkembang menjadi penyakit yang solid di dalam tubuh. Seperti diungkap dr. David, segala penyakit yang bukan disebabkan oleh bakteri, virus, kuman, parasit disebabkan oleh gangguan pada kesehatan mental. Bisa tidak secara langsung, semacam efek domino. Misalnya gangguan kecemasan yang membuat seseorang mengurung diri terus menerus, menjadikan pola makan berubah, tubuh tidak bergerak dalam waktu lama, pelan tapi pasti bakal menumbuhkan penyakit fisik. Masih banyak contoh-contoh lainnya.

Dalam pelaksanaannya, terapi BCR hanya memberikan sentuhan pada focal point di kepala dan tubuh. Sekali lagi, proses ini tidak untuk menyalurkan energi. Terapis hanya menyediakan ruang bagi klien/pasien berproses; ruang untuk membantu mengelola dan membersihkan "sampah batin" atau beban emosional yang tersimpan di dalam tubuh mereka. Jika energi tubuh telah selaras, akan tercipta keseimbangan antara kondisi emosional dan kesehatan fisik; pikiran dan tubuh saling terhubung dan mendukung satu sama lain. Jika tubuh dan pikiran telah selaras, kemampuan untuk self healing atau penyembuhan diri sendiri akan berkembang. Kita juga dimampukan untuk lebih mindful atau "hadir penuh" dan berdamai dengan diri sendiri. 

Buat kamu yang tertarik untuk terapi BCR, sila hubungi aku, ya. Langsung WA saja.

Atau kalau tertarik untuk ikut pelatihannya, ada kelas-kelas yang sudah diap diikuti, di Bandung dan Yogyakarta. 



Jangan lupa untuk aware terhadap sekitar. Tak perlu mencampuri urusan orang lain. Namun sekiranya ada seseorang butuh bantuan terutama terkait kesehatan mental, kita siap untuk mengulurkan tangan. 

Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping




Tetap Bahagia dan Giat Berkarya saat Menjalani Hidup Sendiri

Sabtu malam. Malam Minggu. Hari yang sering kali memunculkan kegalauan bagi sebagian orang. Lihatlah tayangan-tayangan di media sosial, ada quote-quote yang membahas tentang kesendirian dan kesepian. Tak jarang yang menunjukkan betapa menderitanya masih sendiri di usia sekian. Aku meyakini bahwa tiap generasi dengan kekhasannya masing-masing, memiliki tantangannya tersendiri. Namun, melalui berbagai alasan, kita juga bisa menjelaskan mereka dengan berbagai latar belakang itu bahwa nggak masalah kok dengan "sendiri". It's ok being alone.



Baca juga: Trauma Bonding, Luka yang Sering Disangka Cinta

Menjadi lajang bukanlah hal yang memalukan. Mengalami kegagalan dalam hubungan juga bukanlah aib. Semua orang menjalani prosesnya masing-masing. 


Menjadi Lajang

Suatu kali kutemukan thread dari seorang perempuan usia pertengahan 30-an. Nadanya terbaca positif dan optimis. Namun di dalam kalimat-kalimatnya juga terselip kekhawatiran: kalau aku masih akan sendiri dalam tahun-tahun ke depan, kira-kira gimana caraku memanfaatkan waktu?

Sebetulnya kocak juga, ya, seorang perempuan mandiri masih bertanya tentang apa yang bisa dilakukan. Urusan relasi dan percintaan memang sering kali bikin orang kehilangan kepercayaan diri. Bisa jadi TS baru putus hubungan. Gamang harus menjalani kesehariannya kembali ke mode awal, tanpa pasangan. Padahal jika mau kembali membuat reviu dari perjalanan hidup yang sudah dilewati, selama sendiri fine-fine aja, toh?  

Banyak, kok, keuntungan menjadi seorang lajang:

  • Memiliki kebebasan dalam membuat pilihan. Pilihan ini bisa berupa hal-hal sederhana dalam keseharian, maupun pilihan untuk hal-hal besar dalam perjalanan hidup.
  • Bisa lebih optimal memberi perhatian ke diri sendiri. Kadang, sebagai sebuah pribadi, kita masih memiliki PR untuk menjadi diri sendiri seutuhnya. Dan "being single" akan memudahkan dalam menuntaskan PR-PR tersebut. 
  • Keleluasaan waktu. Pengorganisasian waktu seutuhnya kita yang pegang dan atur. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang kita pilih, termasuk barangkali hobi-hobi yang tak biasa. 
  • Potensi kemandirian. Menjadi lajang membutuhkan keberanian untuk mencukupkan kebutuhan diri sendiri. Kemandirian pun bertumbuh seiring dengan rasa percaya diri yang ikut berkembang.

Memilih menjadi lajang juga lebih membebaskan kita untuk pengembangan diri, belajar tentang hal-hal baru. Menulis di blog bisa menjadi salah satu pilihan. Aneka tema bisa dipilih sesuai dengan minat, misalnya blog gaya hidup, blog kecantikan atau kesehatan, blog tentang relasi, blog tentang keuangan, blog tentang binatang peliharaan. 

Atau yang di masa sekarang juga banyak dilakukan, menjadi vlogger. Bagi yang gemar membuat tayangan video, dengan segala macam tema seperti perjalanan, atau kuliner, olahraga, dan lain-lain bisa dipilih.

Nggak mau yang heboh-heboh? Menikmati saat santai sendiri bisa dengan membaca buku, menonton film, atau menikmati musik di ruang mungil yang nyaman. Pendek kata menjadi lajang juga bisa hidup dengan normal. Jadi, nggak perlu lagi bertanya: gimana cara mengisi hari-hari di usia sekian yang masih sendiri? 

Baca juga: Berdamai dengan Inner Child


Hubungan Gagal Bukan Berarti Dunia Berakhir

"Aku patah hati, aku nggak mau punya pasangan lagi. Aku mau hidup sendiri saja!"

Eaaaaaaa...

Memilih tidak berpasangan itu bukan dalam rangka menghukum diri sendiri, ya. Bukan pula untuk menghukum orang lain yang dianggap punya andil dalam kegagalan sebuah hubungan. Gagal merupakan hal yang sangat mungkin terjadi di wilayah mana pun. Termasuk dalam urusan relasi. So, kalau sebuah hubungan tidak berhasil yang kemudian membawa kita kepada setingan awal--sendiri lagi--ya jalani saja. Nikmati saja, enjoy aja.

Tapi, kenapa gagal terus, ya?

Bisa jadi pertanyaan itu muncul di benak kita.

Berapa kali kita menjalani hubungan dan gagal? Dua kali? Enam kali? Lima belas kali? Pengalaman yang bisa jadi menyudutkan kita pada pertanyaan: Kok aku tidak bisa seperti orang-orang pada umumnya? Kok aku tak cocok dengan satu orang pun? Apa aku yang tidak normal? Bahkan ada yang bikin penghakiman atas diri sendiri: Mungkin aku terkena kutukan sehingga selalu gagal.

Untuk menjadikannya clear, barangkali kita perlu menyisihkan waktu khusus untuk membuat evaluasi. Lakukan dengan jernih, tanpa asumsi, tanpa penghakiman, terhadap orang lain, terlebih kepada diri sendiri.

Buatlah daftar, apa saja yang selama ini menjadi pencetus bubarnya hubungan. Tentu saja berangkat dari diri sendiri. 

  • Apakah selama ini aku terlalu fokus terhadap diri sendiri?
  • Apakah selama ini aku terlalu tinggi menaruh ekspektasi?
  • Apakah selama ini aku terlalu bergantung sama pasangan?
  • Apakah selama ini aku telah bertindak seolah tidak membutuhkan pasangan?

Dan lain-lain bisa ditambahkan sesuai dengan kondisi riil masing-masing. Ingat, ini untuk mencari penyebab, bukan untuk menghakimi diri sendiri.

Setelahnya, membuka diri lagi. Kali dengan sikap batin yang lebih siap. Termasuk membuka ruang dialog, menyisihkan waktu untuk melakukan sesi bicara dari hati ke hati. Tidak ada sosok yang sempurna, pun dua orang tak pernah ada yang seragam. Yang ada hanyalah upaya untuk saling mengisi dan melengkapi kekurangan.

Nah, ketika upaya sudah dilakukan ternyata masih gagal, tak soal. Tak semua yang hadir dalam hidup kita akan tinggal selamanya. Bisa jadi mereka hanya hadir untuk memberi pelajaran. Terutama pelajaran-pelajaran yang sebelumnya kita belum lulus. Jangan lelah bertumbuh untuk menjadi pribadi yang lebih baik, ya.

Being single? Why not ... as long as you enjoy your choice


Baca juga: Mengapa Perempuan Perlu Bekerja