Waspada Kesehatan Mental dan Upaya Penanganan dengan Terapi Energetik BCR

Jumat lalu dikejutkan oleh kabar kematian ibu dan dua anaknya. Kematian yang tidak wajar. Sang ibu menghabisi nyawa anaknya dengan memberi mereka racun sebelum mengakhiri hidupnya sendiri dengan gantung diri. Peristiwa ini kembali membuat orang ternganga. Sebuah kenekatan yang bikin pilu, terlebih di tengah kondisi negeri yang sedang tidak baik-baik saja. Apa yang sedang dialami ibu ini? Tapi, jika dilihat dari tindakan bunuh diri, bisa dipastikan jika ibu tersebut mengalami gangguan kesehatan mental. Yuk, aware dengan gejala gangguan mental yang dialami orang-orang di sekitar kita.


Baca juga: Olah Napas untuk Kesehatan Mental

Surat yang ditinggalkan Ibu Banjaran ini disebar di berbagai media. Menyiratkan ketakutan dan kekhawatirannya akan masa depannya bersama dua anaknya. Selain merasa sering diabaikan oleh suaminya, sang suami juga terjebak hutang besar yang ia taks yakin bagaiamana menyelesaikannya. Ada berapa banyak kisah seperti ini beredar di sekitar kita?  


Apa Itu (Gangguan) Kesehatan Mental?

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan mental sebagai kondisi kesejahteraan mental yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi stres dalam hidupnya, mengekspresikan kemampuannya, belajar dan bekerja dengan baik, serta memberikan kontribusi bagi masyarakat di sekitarnya.

Seseorang disebut mengalami gangguan mental (mental disorders) jika ia tak berhasil mengatasi berbagai gejala yang memengaruhi emosi, pikiran, dan perilakunya. Kondisi ini bisa memburuk jika gejala dialami secara terus-menerus, tidak mencari jalan keluar, dan menjadikan penderitanya merasa tidak bahagia. 

Kesehatan mental yang terganggu bukanlah kondisi tiba-tiba. Ada proses yang sudah berlangsung lama. Tidak adanya kesadaran untuk melakukan upaya penyembuhan, menjadi gangguan ini semakin solid. Beberapa faktor menjadi pemicu terjadinya gangguan, di antaranya adalah:

Faktor biologis:

  • Gangguan pada fungsi saraf otak 
  • Kerusakan pada otak, baik kelainan bawaan, akibat infeksi atau trauma kecelakaan.
  • Memiliki riwayat gangguan mental dari keluarga
  • Otak mengalami kekurangan oksigen pada proses kelahiran
  • Kekurangan gizi
  • Konsumsi NAPZA dalam jangka panjang

Faktor psikologis:

  • Trauma akibat kekerasan fisik dan verbal, baik di masa lalu maupun sedang berlangsung
  • Luka masa kecil, terutama dalam relasi dengan orang tua 
  • Kurang bisa bersosialisasi dengan orang dan lingkungan 
  • Rasa kehilangan yang mendalam akibat ditinggalkan orang terdekat 
  • Merasa gagal, tidak mampu, kesepian, dan penilaian negatif terhadap diri sendiri lainnya

Ada sejumlah gejala khas yang mengikuti mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental. Tanda-tandanya bervariasi, tergantung jenis gangguan yang dialami. Beberapa di antaranya adalah: 

  • Mengalami rasa sedih yang berlarut-larut; kesedihan yang sering kali tanpa sebab yang jelas
  • Mengalami perubahan emosi yang drastis
  • Kehilangan rasa peduli terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar
  • Merasakan kelelahan yang berkepanjagan, tak punya tenaga, mengalami gangguan tidur 
  • Mengapami perubahan kebiasaan makan, misalnya menjadi sangat berlebihan atau sangat kurang

Adapun jenisnya, sejauh ini, ada ratusan jenis gangguan mental yang telah dijadikan rujukan diagnosis wilayah psikiatri. Beberapa yang telah cukup kita kenal, antara lain: 

  • Gangguan emosi (depresi, bipolar, obsesif-kompulsif/OCD, dll.)
  • Gangguan kecemasan (anxiety disorder) 
  • Gangguan kepribadian (antisosial, narsistik, histrionik, dll.)
  • Gangguan kurang perhatian dan hiperaktivitas (attention-deficit/hyperactivity disorder/ADHD)
  • Gangguan makan.
  • Gangguan stres pasca trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD)
  • Gangguan autisme (autisme spectrum disorder/ASD)
  • Skizofrenia 

Baca juga: Berdamai dengan Inner Child


Menjaga Mental Tetap Sehat

Apa yang perlu kita lakukan agar kesehatan mental kita terjaga? Hal sederhana dari ajaran Stoic adalah memfokuskan diri pada apa pun yang bisa kita kendalikan. Karena sering kali yang terjadi, pikiran kita banyak dipengaruhi bahkan dijajah oleh keinginan untuk mengendalikan segalanya. 

Beberapa poin Stoikisme yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari: 

1. Memahami tentang hal yang bisa dan tidak bisa diubah. Ini merupakan ajaran dasar dari Stoik. Untuk membiasakan, pemilahan ini perlu dilakukan setiap hari secara sadar, tentang apa-apa yang bisa diubah dan tidak. 

2. Membiasakan diri membuat catatan. Buatku sendiri, membuat jurnal harian masih menjadi hal yang sulit dilakukan. Tapi kebiasaan ini merupakan hal baik yang diakui oleh generasi ke generasi. Melalui jurnal ini kita bisa berkaca dari pengalaman yang sudah lewat. Hal ini juga membantu pengenalan terhadap diri sendiri dan perkembangan kepribadian kita. 

3. Menyadari bahwa segala hal apa adanya. Hal alami setiap orang adalah menerima yang baik-baik saja, yang menguntungkan saja, yang membuat gembira saja. Padahal hidup selalu berubah. Adalah penting untuk menerima segala hal sebagai bagian dari pembelajaran hidup. 

4. Menciptakan kebahagiaan. Yup, kebahagiaan bukanlah pemberian, ia hadir dengan diciptakan. Penciptanya ya kita sendiri. Ini terhubung ke poin pertama, bahwa kita tak bisa mengendalikan segala hal di luar kita. Yang lebih penting adalah bagaiamana kita merespons setiap persoalan. 

5. Menyadari diri sebagai bagian dari alam semesta. Pernyataan "kita bukan siapa-siapa" bukan berarti mengecilkan peran kita. Ini semata kesadaran ada dunia yang lebih luas di luar kita. Tak perlu berfokus pada kemalangan dan hal buruk dari pengalaman sendiri. Tak ada yang abadi, segala hal bergerak, segala hal berubah. 

Perlu juga untuk membangun dan memperlajari hal-hal baru yang menantang. Terlebih bagi kamu yang terbiasa melakukan rutinitas yang sama dari waktu ke waktu. Aku sendiri tengah mengulik pembelajaran hal baru baru terkait bahasa, penerbitan, dan kemampuan perceiving. Dan itu seru. 

Ada juga kawan-kawan blogger yang rutin menulis di blognya masing-masing, sebagai bagian dari journaling, pun tempat menuangkan ide-ide kreatif mereka, seperti ide market day. Silakan bisa dicoba untuk keseharian ibu modern

Namun, jika ditemukan kesadaran bahwa kesehatan mental sudah mengalami gangguan mental yang signifikan, jangan ragu untuk meminta pertolongan kepada profesional. Kamu bisa mengunjungi psikolog, psikiater, atau terapis kesehatan mental.  

Baca juga: Pulihkan Trauma dan Ciptakan Hidup Sehat Selaras dengan Terapi BCR


Penanganan Gangguan Kesehatan Mental dan Terapi BCR

Hal pertama dan utama dari langkah penanganan adalah acknowledge, pengakuan. Orang yang mengalami gangguan kesehatan mental perlu mengakui bahwa dirinya memang sedang bermasalah. Tanpa pengakuan tersebut, tak mungkin ada proses penyembuhan. 

Dalam beberapa bulan terakhir ini aku mempelajari terapi Body Communication Resonance (BCR). Pendekatan penyembuhan yang diprakarsai oleh Dhavid Avandijaya Wartono ini berfokus pada pemulihan keharmonisan antara tubuh dan pikiran melalui peningkatan kesadaran tubuh, relaksasi, dan pengelolaan energi vital. Dalam BCR terapis hanya bertugas menyediakan ruang bagi pemulihan klien/pasien. Ia hanya memfasilitasi pemulihan emosional dan fisik, sisanya diserahkan kepada klien/pasien untuk memprosesnya. Jika klien/pasien bersedia untuk berubah, maka tubuhnya akan berproses untuk meningkatkan kemampuan self-healing dan menciptakan kedamaian dalam diri. 

BCR menekankan body awareness. Mengajak kita menyadari bagaimana emosi dan pengalaman psikologis bermanifestasi dalam tubuh. Bagaimana hal yang menyasar mental dapat berkembang menjadi penyakit yang solid di dalam tubuh. Seperti diungkap dr. David, segala penyakit yang bukan disebabkan oleh bakteri, virus, kuman, parasit disebabkan oleh gangguan pada kesehatan mental. Bisa tidak secara langsung, semacam efek domino. Misalnya gangguan kecemasan yang membuat seseorang mengurung diri terus menerus, menjadikan pola makan berubah, tubuh tidak bergerak dalam waktu lama, pelan tapi pasti bakal menumbuhkan penyakit fisik. Masih banyak contoh-contoh lainnya.

Dalam pelaksanaannya, terapi BCR hanya memberikan sentuhan pada focal point di kepala dan tubuh. Sekali lagi, proses ini tidak untuk menyalurkan energi. Terapis hanya menyediakan ruang bagi klien/pasien berproses; ruang untuk membantu mengelola dan membersihkan "sampah batin" atau beban emosional yang tersimpan di dalam tubuh mereka. Jika energi tubuh telah selaras, akan tercipta keseimbangan antara kondisi emosional dan kesehatan fisik; pikiran dan tubuh saling terhubung dan mendukung satu sama lain. Jika tubuh dan pikiran telah selaras, kemampuan untuk self healing atau penyembuhan diri sendiri akan berkembang. Kita juga dimampukan untuk lebih mindful atau "hadir penuh" dan berdamai dengan diri sendiri. 

Buat kamu yang tertarik untuk terapi BCR, sila hubungi aku, ya. Langsung WA saja.

Atau kalau tertarik untuk ikut pelatihannya, ada kelas-kelas yang sudah diap diikuti, di Bandung dan Yogyakarta. 



Jangan lupa untuk aware terhadap sekitar. Tak perlu mencampuri urusan orang lain. Namun sekiranya ada seseorang butuh bantuan terutama terkait kesehatan mental, kita siap untuk mengulurkan tangan. 

Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping




Tetap Bahagia dan Giat Berkarya saat Menjalani Hidup Sendiri

Sabtu malam. Malam Minggu. Hari yang sering kali memunculkan kegalauan bagi sebagian orang. Lihatlah tayangan-tayangan di media sosial, ada quote-quote yang membahas tentang kesendirian dan kesepian. Tak jarang yang menunjukkan betapa menderitanya masih sendiri di usia sekian. Aku meyakini bahwa tiap generasi dengan kekhasannya masing-masing, memiliki tantangannya tersendiri. Namun, melalui berbagai alasan, kita juga bisa menjelaskan mereka dengan berbagai latar belakang itu bahwa nggak masalah kok dengan "sendiri". It's ok being alone.



Baca juga: Trauma Bonding, Luka yang Sering Disangka Cinta

Menjadi lajang bukanlah hal yang memalukan. Mengalami kegagalan dalam hubungan juga bukanlah aib. Semua orang menjalani prosesnya masing-masing. 


Menjadi Lajang

Suatu kali kutemukan thread dari seorang perempuan usia pertengahan 30-an. Nadanya terbaca positif dan optimis. Namun di dalam kalimat-kalimatnya juga terselip kekhawatiran: kalau aku masih akan sendiri dalam tahun-tahun ke depan, kira-kira gimana caraku memanfaatkan waktu?

Sebetulnya kocak juga, ya, seorang perempuan mandiri masih bertanya tentang apa yang bisa dilakukan. Urusan relasi dan percintaan memang sering kali bikin orang kehilangan kepercayaan diri. Bisa jadi TS baru putus hubungan. Gamang harus menjalani kesehariannya kembali ke mode awal, tanpa pasangan. Padahal jika mau kembali membuat reviu dari perjalanan hidup yang sudah dilewati, selama sendiri fine-fine aja, toh?  

Banyak, kok, keuntungan menjadi seorang lajang:

  • Memiliki kebebasan dalam membuat pilihan. Pilihan ini bisa berupa hal-hal sederhana dalam keseharian, maupun pilihan untuk hal-hal besar dalam perjalanan hidup.
  • Bisa lebih optimal memberi perhatian ke diri sendiri. Kadang, sebagai sebuah pribadi, kita masih memiliki PR untuk menjadi diri sendiri seutuhnya. Dan "being single" akan memudahkan dalam menuntaskan PR-PR tersebut. 
  • Keleluasaan waktu. Pengorganisasian waktu seutuhnya kita yang pegang dan atur. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang kita pilih, termasuk barangkali hobi-hobi yang tak biasa. 
  • Potensi kemandirian. Menjadi lajang membutuhkan keberanian untuk mencukupkan kebutuhan diri sendiri. Kemandirian pun bertumbuh seiring dengan rasa percaya diri yang ikut berkembang.

Memilih menjadi lajang juga lebih membebaskan kita untuk pengembangan diri, belajar tentang hal-hal baru. Menulis di blog bisa menjadi salah satu pilihan. Aneka tema bisa dipilih sesuai dengan minat, misalnya blog gaya hidup, blog kecantikan atau kesehatan, blog tentang relasi, blog tentang keuangan, blog tentang binatang peliharaan. 

Atau yang di masa sekarang juga banyak dilakukan, menjadi vlogger. Bagi yang gemar membuat tayangan video, dengan segala macam tema seperti perjalanan, atau kuliner, olahraga, dan lain-lain bisa dipilih.

Nggak mau yang heboh-heboh? Menikmati saat santai sendiri bisa dengan membaca buku, menonton film, atau menikmati musik di ruang mungil yang nyaman. Pendek kata menjadi lajang juga bisa hidup dengan normal. Jadi, nggak perlu lagi bertanya: gimana cara mengisi hari-hari di usia sekian yang masih sendiri? 

Baca juga: Berdamai dengan Inner Child


Hubungan Gagal Bukan Berarti Dunia Berakhir

"Aku patah hati, aku nggak mau punya pasangan lagi. Aku mau hidup sendiri saja!"

Eaaaaaaa...

Memilih tidak berpasangan itu bukan dalam rangka menghukum diri sendiri, ya. Bukan pula untuk menghukum orang lain yang dianggap punya andil dalam kegagalan sebuah hubungan. Gagal merupakan hal yang sangat mungkin terjadi di wilayah mana pun. Termasuk dalam urusan relasi. So, kalau sebuah hubungan tidak berhasil yang kemudian membawa kita kepada setingan awal--sendiri lagi--ya jalani saja. Nikmati saja, enjoy aja.

Tapi, kenapa gagal terus, ya?

Bisa jadi pertanyaan itu muncul di benak kita.

Berapa kali kita menjalani hubungan dan gagal? Dua kali? Enam kali? Lima belas kali? Pengalaman yang bisa jadi menyudutkan kita pada pertanyaan: Kok aku tidak bisa seperti orang-orang pada umumnya? Kok aku tak cocok dengan satu orang pun? Apa aku yang tidak normal? Bahkan ada yang bikin penghakiman atas diri sendiri: Mungkin aku terkena kutukan sehingga selalu gagal.

Untuk menjadikannya clear, barangkali kita perlu menyisihkan waktu khusus untuk membuat evaluasi. Lakukan dengan jernih, tanpa asumsi, tanpa penghakiman, terhadap orang lain, terlebih kepada diri sendiri.

Buatlah daftar, apa saja yang selama ini menjadi pencetus bubarnya hubungan. Tentu saja berangkat dari diri sendiri. 

  • Apakah selama ini aku terlalu fokus terhadap diri sendiri?
  • Apakah selama ini aku terlalu tinggi menaruh ekspektasi?
  • Apakah selama ini aku terlalu bergantung sama pasangan?
  • Apakah selama ini aku telah bertindak seolah tidak membutuhkan pasangan?

Dan lain-lain bisa ditambahkan sesuai dengan kondisi riil masing-masing. Ingat, ini untuk mencari penyebab, bukan untuk menghakimi diri sendiri.

Setelahnya, membuka diri lagi. Kali dengan sikap batin yang lebih siap. Termasuk membuka ruang dialog, menyisihkan waktu untuk melakukan sesi bicara dari hati ke hati. Tidak ada sosok yang sempurna, pun dua orang tak pernah ada yang seragam. Yang ada hanyalah upaya untuk saling mengisi dan melengkapi kekurangan.

Nah, ketika upaya sudah dilakukan ternyata masih gagal, tak soal. Tak semua yang hadir dalam hidup kita akan tinggal selamanya. Bisa jadi mereka hanya hadir untuk memberi pelajaran. Terutama pelajaran-pelajaran yang sebelumnya kita belum lulus. Jangan lelah bertumbuh untuk menjadi pribadi yang lebih baik, ya.

Being single? Why not ... as long as you enjoy your choice


Baca juga: Mengapa Perempuan Perlu Bekerja


Kuliner Wonosobo: dari Mi Ongklok yang Manis Gurih hingga Enthog Pedas

Di mana daerah yang tak memiliki makanan khas? Nggak ada, kan? Bisa jadi ada kemiripan, atau beberapa wilayah yang berdekatan memiliki penganan khas yang sama. Tapi rasanya sih ngga ada yang sama sekali tidak punya makanan khas. Kapan-kapan kutuliskan makanan khas kampung halamanku. Buat sekarang, oleh-oleh cerita kuliner dari Wonosobo bulan lalu. 

Baca juga: Permakultur dan Kunjungan ke Kebun Igirmranak

Satu hal yang tak kuduga dari kota ini adalah: ternyata ramai! Jauh lebih ramai dari kota kecilku. Saat tiba di kota ini--dari perjalanan menggunakan bus mini yang sepanjang jalan bunyinya aduhai, pertanda usia telah lanjut dan minim perawatan--Wonosobo sedang basah. Hujan tak cukup deras, tapi lumayan bagi pejalan kaki atau pengendara roda dua. Kawan perjalanan, Ajeng, menggamitku untuk memperkenalkan makanan khas Wonosobo. 


Mi Ongklok

Ini menu yang pertama kali kucicipi. Sukaaa! Tadinya agak bertanya-tanya melihat gundukan mi yang terlihat liat. Tapi begitu mulai dikunyah, yummyyyyyy. Enak. Ada beberapa nama kedai yang cukup populer. Tak usah disebut deh, ya. Kuduga rasanya tak akan jauh berbeda. Kalau kamu ada di area kota, cukup hitung kancing, atau yang terasa sreg. Siapa tahu kamu yang jadi penglaris, karena kedai mereka tak masuk dalam deretan nama rekomendasi.  

Yup, mi ongklok terbuat dari mi kuning. Bulat, bukan gepeng seperti mi-nya mi kocok. Mi disajikan bersama kuah kental yang berbahan tepung kanji. Kuah berwarna kecoklatan, ada campuran gula jawa di dalamnya, dan aroma gurih yang keluar dari ebi dan kuah kaldu ayam. Di atasnya ditaburi irisan daun kucai. 

Menurut Ajeng, di semua kedai sajiannya sama: mi ongklok, sate sapi/ayam, dan tempe kemul. Dua yang terakhir pilihan saja jika berminat. Mi ongklok ini konon muncul mulai tahun 1970-an. Di masa lalu, ada pilihan goreng atau sate saren/didih yang terbuat dari darah ayam atau sapi. Kini sudah tak ada yang memasarkan karena mengganggap olahan itu tidak halal. 

Jelang sore berhujan dan menikmati mi ongklok yang hangat dalam nuansa manis-gurih-pedas sungguh sebuah kenikmatan. Terpikir untuk menyempatkan diri mampir ulang kedai sebelum pulang, ternyata tak keburu dan ada perubahan rencana. Semoga lain waktu masih berkesempatan menikmatinya. 

Baca juga: Kamu Tim Mana, Perjalanan dengan atau tanpa Rencana?


Tempe Kemul

Tempe kemul sebetulnya tak cukup terasa khas, mengingat tempe tepung sudah biasa dibuat dan dikonsumsi di rumah tangga. Tapi barangkali campurannya yang membuatnya berbeda. ATaua proses penggorengannya.

Kemul, bahasa Jawa yang artinya selimut. Tempe yang diiris tipis lalu diselimuti tepung. Adonannya terdiri dari tepung terigu, tepung kanji, bumbu rempah, dan irisan kucai. Nah, ini barangkali yang cukup membuat berbeda. Kalau mendoan campurannya daun bawang, bukan kucai. 

Begitu pula dengan proses penggorengan. Jika mendoan digorengnya tak cukup matang, tempe kemul ini justru dibikin kriuk. Tempe kemul bisa ditemukan di kedai makan, dari yang kecil hingga besar, termasuk di kedai mi ongklok. 


Nasi Megono

Aku baru dengar nama menu ini setelah tiba dan menginap di rumah Rumi. Cerita soal Rumi dan aktivitasnya bisa dibaca di sini

Pada pagi terjaga, kami sudah disuguhi nasi bungkus yang ternyata nasi megono. Selintas, tak terlihat istimewa. Seperti nasi dengan campuran irisan sayuran. Tapi setelah suapan pertama, eh, kok enak!

Sensasinya seperti makan dengan kawan nasinya urap. Ternyata betul. Proses pembuatannya, nasi karon dicampur dengan urap sayuran, lalu dikukus dembali hingga matang. Ini yang menjadinya bumbunya terasa meresap. Sayuran yang biasa digunakan adalah nangka muda, labu atau waluh, dan sayuran warna hijau yang aku lupa namanya. Lain waktu coba kutanyakan, karena justru si sayur ini yang buatku unik.

Si sayur hijau itu adalah sejenis kol yang tidak dibudidayakan alias tumbuh liar. Biasanya dia tumbuh di pinggiran ladang, baik ladang kol maupun sayuran lainnya. Kurasa di area Bandung Raya juga ada, di Lembang, misalnya. Cuma tak tahu persis apakah juga dijadikan masakan. 

Nasi megono, menu sederhana yang menurutku wajib coba. 

Baca juga: Setengah Hari Mengelanai Kota Mendoan Magelang


Carica

Tahu carica ini dari postingan kawan di FB. Di benakku, karena di luar bentuknya seperti pepaya, bagian dalamnya juga mirip. Ternyata sama sekali berbeda. Bagian dalamnya ternyata mirip markisa. 

Carica hanya tumbuh di dataran tingginya Wonosobo. Bahkan, meski dibawa turun ke Wonosobo, ia tak akan tumbuh seperti carica yang tumbuh atau ditanam di tanah tinggi. Aku sendiri belum lihat langsung berbedanya seperti apa, penduduk lokal hanya menyebut "seperti pepaya". Nah, kurang jelas, apakah rasanya yang jadi mirip pepaya atau bahkan struktur dalam buahnya juga berubah.

Buah ini diolah menjadi manisan atau sirup. Konon, rasanya segar, manis, dan sedikit asam. Konon saja, karena aku tidak mencoba. Aku hanya makan buah segarnya saat bertandang ke Gunung Prau. Rasanya juga mirip markisa. Asam-manis-segar. Sayangnya carica tak dijual dalam bentuk buah segar. Jadi, kalau kalian mau mencoba carica, ya mesti langsung ke gunung. Kalau tidak, cukup oleh-oleh manisan atau sirupnya. 


Gulai Enthog Bu Siti

Yang ini jelas dari awal, warung Bu Siti. Sudah menjadi langganan Ajeng sejak dia sering melintasi kawasan Wonosobo. Letaknya di Jalan Raya Kalijajar, Wonosobo. Tak heran kalau ia pun menjanjikanku untuk tak terlewatkan menikmati gulai ini. Gulai atau opor itu persisnya, ya ...

Kami singgah ke Warung Bu Siti saat meninggalkan Igirmranak untuk kembali ke area kota. Bisa dibilang ini semacam hidden gem, ya. Kalau mau keluyuran ke Kota Buaya, bisa coba tanya blogger Surabaya, hidden gem wisata kuliner Surabaya di mana aja.

Aku ngga tahu persis, dan memang tidak mencari tahu, Kalijajar ini ada di Wonosobo kawasan mana. Sudah nuansa daerah pinggir. Meski begitu, buat kalian yang ingin merasakan nikmatnya olahan enthog ini, siap-siap kehabisan. Karena itu yang terjadi pada kami. 

Saat datang, stok olahan sedang habis. "Lagi dimasak dulu, ya. Ke sini sekitar sejam lagi," begitu kata mbak-mbak yang entah sebagai apa. Kami pun meninggalkan lokasi, mengambil titik kunjungan yang lain--yang pada lain waktu akan kuceritakan--dan kembali setelahnya. 

Memang, demikian larisnya warung ini. Warung yang telah beroperasi sekitar 15 tahun ini tak mengubah bangunan usaha mereka. Tetap dibiarkan sederhana, meski dalam seharu mereka bisa masak lebih dari 30 enthog.

Saat kami datang keduakalinya, di area depan tampak kosong. Area depan ini berupa ruang panjang dengan dua meja panjang berjajar dengan kursi di salah satu sisinya. Sisi lain menempel ke tembok. Yup, memang sempit. Barangkali cukup untuk 10 orang, jika ditambah dengan meja kursi kecil di sudut lainnya.

Nah, tapi ternyata warung Bu Siti ini tambunya bukan dilayani seperti pada umumnya kedai makan. Tamu mengambil sendiri makanannya. Gulai enthog tersedia dalam panci besar, dijerang di atas perapian. Perlengkapan makan plus nasi dan lalapan ada sisi lain. Di area dapur ini tersedia dua amben yang lumayan besar. Satu amben mungkin muat 6-7 orang. Jadi, selain di area depan, pembeli bisa makan di area dapur. Seperti berkunjung ke rumah keluarga yang dapurnya masih tradisional. Seru, sih. Layak untuk dikunjungi.  

Oke, demikian dulu cerita perjalanan, persisnya kulineran di Wonosobo. Masih ada beberapa yang belum terkunjungi, seperti lontong tetel. Semoga di lain kesempatan.

Baca juga: Berkunjung ke Kota Atlas Semarang









Sarana Transportasi Apa Pilihanmu? (Pengalaman Perjalanan Bus dari Denpasar ke Trenggalek)

Kamu termasuk golongan yang cukup fleksibel dalam memilih sarana transportasi umum, atau fanatik terhadap sarana tertentu? Aku sendiri paling suka menggunakan kereta api, tapi cukup fleksibel jika memang tak ada pilihan lainnya, atau jika pilihannya menyangkut alasan tertentu. Namu, tak sedikit orang yang mati-matian tidak mau naik alat transportasi tertentu. Paling sering kudengar adalah pesawat. 

Baca juga: Kamu Tim Mana, Perjalanan dengan atau Tanpa Rencana?

Sewaktu meninggalkan kampung halaman untuk kuliah di Bandung, aku belum mengenal kereta api. Pengalamanku hanya naik bus antarkota di wilayah Jawa Timur. Begitu mencoba menggunakan kereta api, wow, menyenangkan, meski zaman itu kondisi kereta khususnya dan transportasi umum lainnya sungguh mengenaskan. Apalagi kereta ekonomi. 


Apa, sih, Keunggulan dan Kekurangan Masing-Masing Sarana Transportasi?


BUS

Secara umum bus paling banyak digunakan sebagai sarana transportasi di negeri kita. Meski tak semua infrastruktur sudah memadai, setidaknya jalan beraspal yang bisa dilalui bus sudah menjangkau hampir seluruh penjuru tanah air. Dan aku telah naik turun bus sejak usia bocah, karena kebetulan aku memiliki dua paman yang profesinya sopir bus. 

Kelebihan

Jika dibandingkan dengan jenis moda transportasi darat lainnya, harga tiket bus relatif lebih murah. Kapasitas angkutnya juga besar. Untuk bus ukuran maxi bisa menampung kisaran 50 penumpang. Ukuran mini bisa 20 sekian penumpang. Dengan kapasitas besar, tentunya bus memberikan andil dalam mengurangi jumlah emisi gas buang dan polusi udara.

Ketersediaan bus bisa dibilang cukup banyak. Sejumlah PO memiliki jalur tujuan yang sama sehingga cukup memudahkan pengguna jasa untuk memilih.

Kekurangan

Waktu tempuh lebih lama. Bus biasanya singgah di setiap terminal antar kota. Kecuali bus jarak jauh, dengan tujuan tertentu. Paling-paling berhenti satu kali di tempat peristirahatan, biasanya bekerja sama dengan rumah makan. Tidak semua jalan juga dalam kondisi prima.

Di masa sekarang, waktu tempuh juga terbilang relatif, mengingat sudah tersedia fasilitas jalan tol di berbagai kota. Pun pembangunan infrastruktur juga sudah jauh lebih baik. 

Baca juga: Ragam Kuliner di Bali, Halal dan Nonhalal


KERETA API

Kereta api akan selalu menjadi favoritku. Aku mengalami betul perkembangan perbaikan sarana dan prasarana perkeretapian Indonesia. Dari yang penumpang tumpuk-undhung kayak ikan reyek, bau apek keringat sana-sini plus asap rokok yang bebas mengembara, pedagang berjejal memenuhi lorong, orang tidur di mana saja, hingga sudah rapi, dingin, aroma terjaga. Pun sistemnya yang lebih rapi. Tak lagi ada keterlambatan.

Kelebihan

Sarana transportasi satu ini relatif lebih aman dan nyaman dibandingkan kendaraan lainnya. Ia punya jalur istimewa. Sediaan fasilitasnya juga beragam tergantung jenis layanan, yakni eksekutif, bisnis, dan ekonomi. Ada yang melayani semua, atau hanya salah satunya. Pengguna jasa bisa menentukan pilihan berdasarkan isi kocek. 

Jika dibandingkan layanan serupa, misalnya gerbong ekonomi dan bus ekonomi, dari sisi biaya masih lebih menang kereta. Lebih terjangkau. 

Kapasitas angkut yang besar sekali, menjadikan kereta api sebagai moda transportasi darat yang ramah lingkungan karena bebas dari faktor macet dan emisi. 

Kekurangan

Kereta api belum menjangkau semua kawasan, terlebih wilayah luar Jawa. 

Waktu tempuh juga jauh lebih lama jika dibandingkan pesawat. Bukan pilihan sarana transportasi yang membutuhkan kesegeraan. Kecuali kereta Woosh yang baru diluncurkan pada 2024 lalu, yang memangkas durasi perjalanan Jakarta-Bandung dari kisaran 3 jam menjadi setengah jam saja. Namun, ya baru jalur Jakarta-Bandung.


PESAWAT TERBANG (komersial)

Untuk perjalanan jarak jauh, pesawat masih menjadi pilihanku. Kebetulan beberapa kali melakukan perjalanan keluar pulau dalam rangka pekerjaan. Butuh kecepatan. Ingin sekali coba naik kapal, tapi tentunya bakal terlalu lama.

Kelebihan 

Pesawat udara unggul dalam hal waktu. Durasi perjalanan jauh lebih singkat jika dibandingkan bus dan kereta api. Bahkan perjalanan antar pulau atau antar provinsi bisa lebih cepat dan menghemat waktu.

Kekurangan

Dengan kemampuannya yang maksimal, moda transportasi udara ini membutuhkan biaya pemeliharaan yang besar. Gaji para punggawanya pun tinggi, mengingat risiko yang haris mereka hadapi pada setiap masa tugas. Hal ini menjadikan biaya perjalanan jauh lebih mahal dibandingkan bus dan kereta api. 

Pesawat dibuat sedemikian rupa sehingga tiap maskapai memastikan armadanya aman. Meski demikian semua calon penumpang juga menyadari bahwa pesawat terbang merupakan moda transportasi dengan tingkat risiko paling tinggi dibandingkan bus dan kereta api. 

Bagaimana dengan kapal laut? Sayangnya aku belum punya pengalaman naik kapal laut. Dalam artian kapal besar, ya. Kalau feri penyeberangan sudah beberapa kali, pun kapal-kapal kecil di beberapa wilayah perairan. Semoga di lain kesempatan dapat menjadi cerita tersendiri: Ibu Meong naik kapal pesiar, cihuuuuy!

Baca juga: Menjumpai Naga Perak di UC Silver Gold


Pengalaman Perjalanan Denpasar - Trenggalek

Awal Januari lalu aku melakukan perjalanan dari Denpasar menuju kampung halaman. Ini adalah salah satu perjalanan absurd yang kulakukan. Memang, pernah terlintas untuk melakukan perjalanan darat (bukan terbang bersama pesawat). Dalam bayanganku, aku akan menggunakan kereta api dari Bandung menuju Surabaya, lanjut Banyuwangi. Dari situ menggunakan bus untuk menyeberang ke Gilimanuk lanjut Denpasar. 

Rencana itu belum sempat terealisasi, eh, berjumpa dengan kondisi yang membuatku ambil keputusan untuk segera meninggalkan Denpasar. Sayangnya saat itu tiket pesawat sedang tinggi pasca libur tahun baru. Begitu saja, aku terpikir untuk ngelongok kampung halamanku, Desa Bendorejo, Kecamatan Pogalan, Kabupaten Trenggalek. Hasil penelusuran di mesin pencari, aku menemukan bus Surya Trans yang tarifnya paling murah, Rp290.000. Bus ini melayani rute Denpasar ke Trenggalek melalui Malang. Pilihan yang lain adalah melalui Surabaya. 

Perjalanan pun dimulai. Aku mengambil pemberangkatan dari Terminal Mengwi, Kabupaten Badung. Di kemudian hari aku baru tahu kalau ternyata titik pemberangkatan ada beberapa alternatif, tinggal dibicarakan dengan pemilik jasa penyedia tiket.

Fasilitas bus standar saja. Tersedia toilet, ada stop kontak di langit-langit tiap kursi, disediakan bantal kecil dan selimut, serta kotak kemasan berisi roti dan air minum kemasan. Yang terasa tidak cukup memadai adalah jarak antarkursi yang terlalu dekat. Bikin kaki pegal. Beruntunglah bisa tidur dengan nyenyak. Dipatok di kursi saja; turun sebanyak dua kali, saat menyeberangi selat dan saat berhenti makan di daerah Probolinggo. Oiya, makan tengah malam di sini tak masuk fasilitas. Jadi mesti bayar sendiri, ya, gaeees...  

Perjalanan berlangsung lancar, meski meleset dari waktu yang tertera di jadwal. Berangkal pukul 14.00 dan dijadwalkan tiba pukul 5 pagi keesokan harinya, ternyata sampainya pukul 7.

Itu pengalaman perjalanan pertama. Aku melakukan perjalanan yang sama pada Juli lalu. Ini pun merupakan pengalaman tak terencana. Berangkat ke Bali menggunakan penerbangan dari Yogyakarta, aku berharap bisa pulang Bandung menggunakan pesawat ke Bandara Kertajati. Tak dinyana, selagi ancang-ancang pesan tiket pulang, ada kabar Bandara Kertajati resmi tidak beroperasi. Bah!

Baca juga: Wisata Kuliner dan Religi di Bali, 2024

Pada perjalanan kedua aku memilih bus Ranajaya dengan pemberangkatan Terminal Ubung, Denpasar. Hanya berbeda Rp20.000, tapi fasilitas bus ini lebih memadai dibandingkan bus sebelumnya. Jarak antarkursi lebih longgar, dengan penahan kaki di bagian bawah. Di bus juga disediakan dispenser dengan stok kopi saset di atasnya. Bekal yang dibagikan ke penumpang berisi roti, air kemasan, dan mi instan kemasan gelas. Nah, kalau mau makan mi instan tinggal seduh sendiri. Atau minta bantuan kenek yang melayani penumpang dengan ramah. Dengan bus ini, jatah makan malam juga tersedia alias gratis. Cuma untuk durasi perjalanan, sami mawon. Malah lebih lama, akibat antrean panjang di Gilimanuk. Ingat peristiwa kecelakaan kapal penyeberangan? Nah, aku pulang kampung 2 hari setelah peristiwa tersebut. Sepertinya ada dampaknya terhadap pemeriksaan kapal. 

Ada satu lagi PO yang beroperasi untuk jalur ini: MTrans. Besaran tiketnya antara Rp380 ribu hingga di atas Rp500 ribu. Lain waktu mungkin perlu coba yang edisi sleepers.

Itu saja dulu dongengnya, ya. Setidaknya dua pilihan PO itulah yang bisa kubagikan sedikit pengalaman. Kalau kamu punya pengalaman lain, baik berkenaan dengan transportasi ke dan dari Bali, boleh berbagi juga, ya. Terima kasih sudah membaca.   

Ah iya, satu catatan tambahan. Saat kedatanganku ke Denpasar bulan April, bus kota dihentikan operasionalnya. Meskipun jalurnya memusingkan dan lama sekali, tapi lumayan membantu. Paling tidak bisa membawa keluar dulu dari area bandara. Nah, saat kedatanganku berikutnya pada Juli, bus sudah diperasikan kembali. Selamaaat. Saranku, jika mau berhemat, untuk keluar bandara pakai saja bus kota. Cukup membayar Rp4.000. Setelah di area luar, tinggal pilih alat transportasi yang lain. Aku memilih ojek online, nggak tahan dengan kemacetan kota. Kecuali kalau tidak buru-buru dengan bisa menimati kemacetan, lanjut saja menggunakan busnya.


Setengah Hari Mengelanai Kota Mendoan, Purwokerto

Aku yakin, bukan cuma aku yang lebih kenal Purwokerto dibandingkan Banyumas. Mungkin alasannya berbeda-beda. Namun, salah satunya bisa jadi sama, bahwa Purwokerto lebih beken dibandingkan Banyumas. Padahal Purwokerto merupakan ibu kota Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Aku sendiri mengenal Purwokerto sejak kuliah di Bandung. Perjalanan keretaku dari kampung halaman menuju Bandung pasti melewati Purwokerto. Nah, akhir Juni lalu akhirnya aku bisa menyingggahi kota ini meski hanya semalam. 




Purwokerto masuk dalam daftar kota yang ingin kukunjungi, selain beberapa kota lain di Jawa Tengah, seperti Wonosobo, Muntilan, Jepara, Rembang, Kudus, Lasem, dll. Dalam perjalanan kereta, biasanya aku terjaga saat lokomotif mandek sejenak di stasiun Purwokerto. Terakhir aku bergabung dalam tim penulis buku biografi seorang jendela TNI bintang 3 yang salah satu tugas bagianku adalah kisahnya selama di Purwokerto. Demikianlah aku antusias sekali saat kawan Ajeng Kesuma mengajakku berkelana ke Wonosobo dengan janji ketemu di Purwokerto. 


Sejarah Purwokerto

Secara status wilayah, rupanya dulu Purwokerto pernah berstatus kota administratif. Seperti kota-kotalainnya, kota dengan total luas wilayah 39,58 kilometer persegi ini juga memiliki catatan sejarah yang menarik.

Purwokerto berdiri pada 6 Oktober 1832 sebagai sebuah kadipaten. Pendirinya Adipati Mertadireja II. Desa Peguwon yang terletak di sekitar Sungai Pelus dipilih sebagai pusat pemerintahan. Empat tahun berselang, wilayah ini digabung menjadi satu dengan Kadipaten Ajibarang. Persisnya pada 1 Januari 1836. Di sinilah muncul nama Banyumas--yang di kemudian hari kita kenal sebagai kabupaten--sebagai ibu kota.

Memasuki abad ke-20, di bawah pemerintahan kolonial Belanda, mulai dilakukan perubahan tata ruang kota di Purwokerto. Yang punya peran adalah seorang arsitek Belanda, Herman Thomas Kartsen. Selain pembaruan, Herman juga mendesain ulang tata ruang demi kebutuhan mengakomodasi terjadinya lonjakan penduduk. Bukan hanya di Purwokerto, tapi di wilayah lain di Pulau Jawa.

Nama Purwokerto konon ada dua versi. Yang pertama berdasarkan temuan batu yang diyakini sebagai reruntuhan candi di masa lalu, disinyalir sebagai peninggalan Kerajaan Pasiluhur. Batu yang ditanam di Arcawinangun, Kecamatan Purwokerto tersebut dikenal sebagai “Makam Astana Dhuwur Mbah Karta” yang berada di Arcawinangun, Kecamatan Purwokerto. Nama Karta itu mengacu pada “Karti” di nama Kiai Kartisura. 

Versi kedua cukup singkat. Menyebut asal-usul nama Purwokerto mengadaptasi dua lokasi bersejarah di wilayah tersebut, yakni Kertawibawa, ibu kota Pasir, dan Purwacarita, kerajaan di tepi Sungai Serayu. 

Entah mana yang lebih tepat. Namun sepertinya keduanya sama-sama menyepakati bahwa penyebutan wilayah ini adalah Purwokerto, bukan Purwakarta, yang merupakan kabupaten di Jawa Barat. 





Pengelanaan Setengah Hari

Aku tiba di Purwokerto persis tengah malam, sudah masuk tanggal 24 Juni 2025. Rencana ke Purwokerto--memenuhi ajakan kawan ini--sebetulnya tak mendadak amat. Namun, ternyata tak mudah mendapatkan tiket kereta api dari Bandung. Memang, ya, kereta masih jadi pilihan ekonomis terutama kereta ekonomi atau gerbong ekonomi. Rebutan. Telat pesan, nggak kebagian. Jadilah aku menggunakan moda bus antarkota.

Aku bukan penggemar moda bus (Berhubungan dengan travel). Biasanya untuk kepergian luar kota jarak jauh, aku memilih kereta api sebagai sarana transportasi. Jarak dekat barulah pakai bus. Itu pun dulu. Begitu ada banyak travel yang beroperasi, bus pun kembali ditinggalkan. Seperti belajar kembali menggunakan jenis angkutan ini. Menuju ke Terminal Cicaheum untuk menaiki bus Sinar Jaya yang kupesan melalui Traveloka. Cek ke loket ternyata tersedia cukup banyak armada menuju Purwokerto, dengan sedikit selisih tarif. Kalau waktunya leluasa, bisa langsung ke terminal saja untuk mendapatkan layanan yang diinginkan. Tiket yang kupesan seharga Rp130.000.

Memasuki Purwokerto, sopir menurunkanku di lokasi yang konon cukup dekat dengan penginapan yang sudah dipesan kawan. Memang dekat, aku cukup membayar Rp8.000 untuk ojek online yang kupesan. 



Penginapannya menarik, namanya Omah Kranji. Guest house ini berlokasi di Jalan Kranji, tak jauh dari alun-alun Purwokerto. Kalau kalian orang Bandung, bisa kugambarkan vibes penginapan ini menyerupai Bumi Asih yang berada di kawasan belakang Gedung Sate. Versi mininya. Sempat berbincang sedikit dengan pemiliknya pada pagi kami akan jalan-jalan. Ibu pemilik pernah tinggal lama di Bandung dan Jakarta.

Berhubung sudah ada rencana lanjutan ke Wonosobo, kami memanfaatkan waktu sebaik mungkin, menikmati kota ini. Diawali dengan jalan kaki memutari alun-alun.

Sepanjang perjalanan dari penginapan menuju alun-alun kami mendapati beberapa penginapan. Jadi, tampaknya tak sulit untuk mencari tempat bermalam di kota ini. Alun-alun yang berseberangan dengan komplek Kantor Pemerintahan Kabupaten Banyumas berjarak lebih kurang satu kilometer dari penginapan.

Kami menuntaskan jalan kaki empat kali putaran sebelum meutuskan mencari sarapan. Ada cukup banyak saran yang kami temukan di media sosial. Namun, kami mengikuti satu rekomendasi kawan untuk menjajal sroto Purwokerto. Tempatnya tak terlalu jauh juga dari alun-alun. Beberapa kali kelokan dan menambah sekian bulir keringat, hehe, akhirnya kami tiba di RM Sroto yang ada di Jalan Bank. 

Kami memesan sroto dua porsi dan tempe mendoan serta teh poci satu porsi. Srotonya oke, enak, aku suka citarasanya. Sayangnya--sebagai kota dengan julukan Kota Mendoan--malah mendoannya kurang nendang. Lumayan terbayarkan oleh legitnya teh yang diseduh bersama gula batu.




Sayangnya ukuran lambung tak bisa terlalu banyak menampung makanan. Jadilah cuma itu kuliner yang kami nikmati di Purwokerto. Lain kesempatan perlu berkunjung kembali, sengaja untuk njujug ke kota ini dan menikmati aneka suguhan kotanya.

Ada yang mau jalan-jalan bareng? Barangkali Mbak Suci, kawan travel blogger Medan lagi berkunjung ke tanah Jawa, boleh dicoba. 

Btw, perjalanan panjangku yang diawali dari kunjungan ke Purwokerto ini membuatku segera mengeksekusi keinginan berkelana ke beberapa kota yang selama ini hanya jadi wacana.